Ekspresi

Baledono & Kedung Putri Dalam Kenangan

Oleh: Hanafi Muhammad

Sebuah kota kecil. Sebenarnya sebuah wilayah dengan keluasan terukur di bawah bukit yang punggungnya menopang Candi Borobudur telah mengajari saya bagaimana cara tangan harus menggenggam dan bagaimana cara tangan harus melepaskan.

Di awal tahun 60an desa itu tampak basah, lahir bersama anak-anak yang lain di desa yang religius dan dikelilingi banyak air yang membuat kali dengan hulu dan hilirnya sendiri. Di musim hujan yang lalu sebuah malam menampilkan satu grup “orkestra” dengan satu nomer ciptaan mereka yang tak berakhir hingga kini.

Musik hujan itu turun lewat kaki-kaki bukit yang panjang ke dataran rendah dan menyelinap dibalik batu-batu di bawah kali yang telah ditata dari tangan peri di setiap saat mereka mandi. Mereka menamakan kali itu jam tiga pagi dengan sebutan “Kedung Putri”.

Kedung Putri, tempat aku bermain bersama kawan-kawan kecilku. Riang gembira mewarnai hari-hari sore yang cerah. Awalnya hanya menikmati keceriaan dari pinggir kali. Melihat mereka melompat, berenang, dan mengapung pada batang pisang di air yang jernih mengalir.

Akhirnya ikut juga larut dalam kegembiraan mengapung pada batang pisang di air yang jernih. Walaupun kadang kegembiraan itu terhenti seketika aku melihat Bapak saya berdiri diatas buh (jembatan).

Tanpa ba bi bu, aku melompat dan lari pulang. Mandi. Kutinggalkan semua canda ceria kawan-kawan di kali yang bening itu. Kadang Kedung Putri mengajak warga bergembira pesta bersama, pada saat airnya kering. Entah apa sebabnya airnya surut.

Mungkin pintu selis dibuka kearah Kali Bogowonto. Orang tidak peduli semua itu, yang mereka tahu adalah saat pesta sudah datang. Mereka turun ke kali membawa apapun unt menangkap ikan yang menggelepar karena tiada air. Orang tidak peduli penderitaan ikan-ikan bagi penduduk saat itu adalah kegembiraan dan bayangan gurihnya daging ikan.

Kedung adalah tempat pilihan yang terbaik dari sekujur aliran kali dimana mereka menciptakan cerita dan narasi untuk menumbuhkan sebuah desa yang akan mereka cintai. Tetapi narasi yang mereka ciptakan di dini hari yang dingin itu retak oleh pembangunan geladak tempat pemotongan sapi.

Bau amis darah sapi-sapi itu membuat kelupasan-kelupasan di dinding kali Kedung Putri hingga suatu malam tak ada lagi peri-peri itu berkumpul di sana. Bahkan tak ada lagi musik hujan yang mengiringi lelap tidur orang orang di bantaran kali. Namun kami tetap di dalam, belajar menggenggam dan melepaskan…

Usia kami lima atau enam tahun kala itu. Berdiri di dekat para pejagal sapi, sapi-sapi itu, satu-satu dirobohkan dengan cara mengikat dua kaki kanan sapi yang ditarik paksa ke arah kiri dan sapi itu menggelepar di lantai yang berlobang untuk tadahan darah dari leher sapi yang digorok.

Darah itu muncrat keluar dari kulit leher yang putih, pembantaian pagi itu sangat menyeramkan bagi kami dan, mungkin kami tak mengerti untuk apa semua ini.

Kami bisa datang ke gladag itu setiap pagi tanpa harus tahu untuk apa semua ini, untuk alasan apa pembantaian sapi-sapi yang tak berdosa ini. Suara besi kerekan itu juga mengerikan seakan datang dari kamar malaikat yang bertangan dingin pelunas dosa-dosa.

Kita memang hidup dalam keadaan mengemban sebuah atau lebih “trauma” yang menyakitkan sekaligus mengerikan.

Trauma pertama adalah trauma kelahiran, saat sakit dipindahkan dari hidup di air ketuban ke udara yang tak kita kenal. Kita teriak dan meraba bahasa lewat sentuhan seorang Ibu.

Trauma yang saya rawat dalam hidup saya hingga saat ini trauma yang berbentuk kurang lebih seperti yang demikian itu. Ruma- rumah berhimpitan, kandang ayam yang menguarkan bau anyir, merah darah sapi-sapi itu, dan sogan atau wedel jadi warna warna lukisan-lukisan saya.

 

About the author

pronect

3 Comments

Click here to post a comment