Historiana

Dalang Legendaris dari Bagelen

Oleh: Slamet Wijadi

Bicara dalang wayang kulit saat ini umumnya kita merujuk kepada dalang-dalang kondang seperti Ki Timbul Hadiprayitno dan Ki Hadi Sugito (alm)sebagai tokoh yang mewakili gaya Mataram sedangkan Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Sudarsono mewakili Gagrak Surakarta.

Sedangkan Ki Narto Sabdo (alm) cenderung kepada gaya Surakarta karena memang aslinya dari Klaten. Untuk Gagrak Banyumas kita kenal Ki Sugino Siswocarito. Bahkan pada tahun 1950-an ada dalang Banyumas yang sangat populer yaitu Ki Soerono.

Masing-masing Gagrak mempunyai penggemar (fans) sendiri-sendiri namun untuk daerah Bagelen umumnya cenderung menggemari gaya Mataram, karena gaya Mataram lebih dekat dengan sifat orang Bagelen yang suka “lugas” dan nampaknya Ki Timbul dan Ki Hadi Sugito lebih mampu mempresentasikan sifat khas orang Bagelen tersebut.

Barangkali kita belum tahu bahwa Ki Timbul itu orang Bagelen tepatnya dari Jenar (Plandi)yang masih termasuk kecamatan Purwodadi Purworejo dan pernah mengaku bahwa masa kecilnya dia penggembala kambing di desa tersebut.

Ini dia katakan sendiri waktu ndalang di Desa Klandaran Kec. Ngombol Purworejo dimana penulis menyaksikan. Menurut apa yang saya dengar, mbakyunya ki Timbul menikah dengan dalang asal Wates, Wiji Prayitno, yang tidak lain adalah ayah Ki Hadi Sugito, dengan demikian Ki Hadi Sugito itu adalah keponakan Ki Timbul.

Pendidikan dalang Timbul diperoleh terutama sewaktu ikut/nyantrik kakak iparnya namun jiwanya tetap asli orang Bagelen, sedang Ki Hadi Sugito, ibunya adalah orang Jenar Purwodadi  yang berarti berdarah Bagelen juga. Itulah mengapa terdapat hubungan batin timbal-balik antara kedua dalang tersebut dengan masyarakat Bagelen Purworejo pada umumnya.

Jadi walaupun resminya mereka dalang dari Bantul dan Wates, masyarakat sekitar Desa Jenar menganggap keduanya adalah “orang” Jenar. Hal ini diceritakan oleh seorang teman Ki Timbul waktu kecil yang kebetulan teman penulis.


Pada waktu jaman penjajahan Belanda dalang yang paling terkenal di Purworejo adalah dalang dari Pacor Kec. Kutoarjo. Namanya Dalang Gethuk dan pernah ditanggap di rumah kami waktu kakak kami sunatan tahun 1939. Penontonnya mbludak apalagi waktu itu permainan judi kodok ulo, dadu, kripyik secara tidak langsung masih “diijinkan” jadinya pasar di sebelah rumah seakan jadi “pasar malam judi”.

Siang hari yang ndalang putranya, dalang muda Darto, orangnya cakep, banyak ibu-ibu muda yang kepincut. Dikemudian hari dalang ini sempat jadi dalang top untuk daerah Purworejo.

Kemudian ada dalang Popongan yang juga terkenal dan dianggap dalang “kasepuhan” artinya ndalangnya alus, kurang greget, banyolannya lugu dan kurang berani nyerempet karenanya penggemarnya adalah para “pinisepuh” yang ingin “ngangsu kawruh kebatinan”.

Masih ada lagi dalang Sukrowo, namun saya kurang jelas dari mana asalnya, mungkin dari Wingko, demikian juga dalang “Suwing”, ini karena bibirnya (maaf) sumbing, ndalangnya cukup bagus dan sempat populer, anta-wecono-nya “agak bindeng” namun masyarakat tidak mempersoalkan.

Dalang yang saya kenal namun berasal dari luar Purworejo adalah dalang Kotesan-Girigondo-Wates, agak populer waktu itu karena bersedia melakonkan Baratayudha yang di anggap sakral. Saya nonton waktu itu di Ngringgit tahun 1930-an. Yang saya ingat adalah episode gugurnya Gathutkoco, kesan saya penampilannya sangat memukau.

Disamping dalang wayang kulit dari Purworejo juga memiliki dalang wayang golek (menak/klithik) yang pada waktu itu cukup bersaing dengan wayang kulit khususnya di daerah Purworejo selatan. Lakon-lakon wayang golek umumnya berkaitan dengan penyebaran agama Islam, tokoh utamanya adalah Wong Agung Menak Jayengrono dengan panglimanya Umarmoyo.

Ada tiga dalang yaitu dari Kaibon, Paitan dan Benco Rowodadi. Yang paling populer adalah dalang Guno dari Benco, kalau sudah memainkan Umarmoyo yang gagah, perang silat dengan pedangnya, penonton tepuk tangan riuh rendah seperti ke stroom. Tokoh dagelannya adalah Jiweng dan Thoples, ditangan dalang Guno kedua tokoh ini sangat menghibur penonton.

Lakon yang sangat dihindari adalah “Umarmoyo Kelangan Kasange/Ngemis”, karena penanggapnya bisa jatuh miskin jadi pengemis. Tokoh yang paling dibenci adalah Patih Bestak dari Medayin sebanding dengan Sengkuni/Durno pada wayang kulit. Sayang kesenian wayang golek itu sekarang sudah hampir punah, dalangnya juga sudah tidak ada lagi, setidaknya untuk daerah Purworejo.

Di Mendiro Kecamatan Ngombol dulu ada dalang wayang kulit dengan spesialisasi untuk acara bersih desa. Menurut kepercayaan ada beberapa desa yang leluhurnya harus di tanggapkan wayang setiap datang saat bersih desa.

Jika bulan Rojab datang yaitu saatnya bersih desa, Pak Dalang panen tanggapan. Saya tidak tahu dari mana Pak dalang ini belajar ndalang, sebab diantara keluarganya tidak ada darah dalang, wayang juga tidak punya, biasanya menyewa dari Wingko termasuk gamelannya. Setelah meninggal pun tidak ada yang meneruskan bakatnya, putranya bahkan tak menjadi dalang tetapi menjadi kepala desa.

Itulah sekedar catatan kenangan yang saya ketahui tentang dalang wayang di Purworejo tempo dulu bahkan mungkin dikenang sampai kini. Saat ini nampaknya belum ada dalang yang cukup terkenal dari daerah ini, kalaupun ada tingkatannya masih lokal.

Semoga bakat-bakat pedalangan yang masih terpendam seperti yang telah dibuktikan oleh dalang Pacor, Ki Timbul dan Ki Hadi Sugito akan muncul kembali dari daerah ini, yang akan mewakili ciri khas masyarakat Bagelen seperti halnya dalang Banyumas yang telah mencerminkan “kepribadian” orang daerah itu. Kalau Jenar dan Pacor telah melahirkan dalang kondang semoga suatu saat akan lahir lagi dalang kondang dari daerah ini.

sumber asli: Blogger Purworejo