Oleh: Kuss Indarto
#1. Siapakah Harijadi Sumodidjojo?
Generasi sekarang mungkin banyak yang tidak mengenalnya. Seniman besar yang pernah dimiliki Indonesia itu, dilahirkan di Desa Ketawangrejo, Grabag, Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Pada era 1950-1970an, Hariadi Sumodidjojo atau lebih populer dengan nama Harijadi S, itu dikenal sebagai seorang pelukis, pemahat dan pematung. Saat ini profesi seperti itu lebih dikenal dengan sebutan perupa. Tak hanya itu. Ia juga seorang muralis yang gemar balap sepeda motor. Menyukai otomotif dan mengoleksi mobil serta sepeda motor tua.
Tahun 1959 ia pernah diberi peran sebagai pemain drama dan beberapa kali ikut berlatih dalam lakon Hartati. Lakon itu adalah produksi ketujuh Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM). Disutradari Subagyo Sastrowardoyo (kemudian lebih dikenal sebagai seorang sastrawan), Hartati saduran dari Hedda Gabler, karya Hendrik Ibsen (1890).
Latihan bersama Ike A Wibowo dan Iman Soetrisno -pemeran utama drama itu- berlangsung di aula belakang gedung bioskop Rex. Bioskop itu kemudian bernama Ratih, terletak di Jalan Tugu Kidul, yang berubah menjadi Jalan Pangeran Mangkubumi dan kini penggal jalan itu bernama Jalan Margo Utomo. Adapun gedung bioskop Ratih kini sudah tak lagi ada. Tinggal kenangan.
Harijadi kemudian juga bermain dalam beberapa film. Debutnya adalah film “Badai Selatan” (1960) produksi Ibukota Film, disutradarai Sofia Waldy. Film itu dibintangi oleh WD Mochtar, Ida Nursanti, Tan Tjeng Bok. Harijadi berpasangan dengan Ike, mahasiswa Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM itu. Salah satu putranya, Lintang Nugroho, anak ketujuh Harijadi, diikutkan.
Beberapa tahun kemudian, Harijadi muncul pula dalam “Nyoman Cinta Merah Putih” (1989) produksi PT Jantera Sidha Dyatmika, disutradari Judy Subroto. Para pemainnya, antara lain Yatti Surachman dan Putu Wijaya.
Selain ikut dalam pementasan drama dan bermain film, Harijadi senang menyenandungkan lagu “Island in The Sun”.
Dia lalu menyanyi diiringi orkes keroncong. Lagu favoritnya “Saputangan dari Bandung Selatan” ciptaan Ismail Marzuki dan lagu “Widuri” (ciptaan Adryadie). Ia pun menikmati langgam “Mutiara” (Harry Singgih) yang cantik itu. Gemar musik Amerika Latin terutama grup band Trio Los Panchos dengan tembang-tembangnya yang enak di telinga, antara lain “Cu Cu Ru Cu Paloma”. Lagu pop Barat tahun 60-an yang disukainya adalah “Story Book Children” yang dinyanyikan duet Sandra Reemer dan Andre Driesholten.
Begitulah sebagian kehidupan seniman Harijadi S yang penuh warna itu. Kisah di atas bisa didapatkan dalam buku biografinya, “Andesit untuk Bangsa”, tulisan Ireng Laras Sari. (Disarikan dari halaman 14-15-16 & hal 23 – awd)
*** *** *** ***
#2. Menolak Keinginan Bung Karno
Sehelai telegram dari Istana melayang ke Seniman Indonesia Muda (SIM) dengan alamat rumah Harijadi S, Bangirejo Taman 2 Yogyakarta (sebelah barat perempatan Jetis).
Beritanya, Paduka Yang Mulia Presiden dengan banyak wartawan 1 Februari yang akan datang jam 09.00 sampai 11.00 WIB, akan mengunjungi Pelukis Rakyat, lalu kampus ASRI dan SIM. Siapkan gambar-gambar dan patung, bikinlah suasana yang hebat, penting. Surat saya menyusul pada Harijadi. Minta kabar Dullah.
Telegram itu dikirim oleh Dullah, melalui Dirkabpres (Direktorat Kabinet Presiden?). Diterima di Yogyakarta pada 24 Januari 1955.
Foto: Saat Soekarno, presiden petama RI berkunjung ke rumah Harijadi S. di kampung Bangirejo Taman 2, Yogyakarta, 1 Februari 1955. Dari kiri: Harijadi S., S. Sudjojono, Soekarno, Mia Boestam (istri pertama Sudjojono), Sumilah (istri kedua Harijadi S.). Bawah: Ireng Laras Sari (anak pertama Harijadi dari iatri kedua), Niken, Bambang (anak kedua dan pertama Harijadi dari istri pertama), Tunggal (?), dan Santu (anak Harijadi dari istri kedua).
Pagi itu, 1 Februari 1955, adalah pagi yang terang benderang bermandi matahari. Presiden Soekarno benar-benar berkunjung ke Sanggar Pelukis Rakyat (PR) di Sentul, kampus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Serangan, Wirobrajan, dan Sanggar SIM. Sesudah ke PR dan ASRI, Bung Karno ke SIM di Bangirejo Taman 20. Sanggar itu ditata apik.
Lukisan-lukisan dipasang rapi, juga rencana buku cerita bergambar berupa kepingan-kepingan “Untung Surapati” karya Abdul Salam. Beberapa patung tegak di sanggar yang mungil itu.
Presiden disambut karangan bunga yang dibawa dan kemudian dikalungkan oleh Sri Nasti Rukmawati, putri Sudjojono, dan Sri Wiyani, putri Abdul Salam. Sesudah mengunjungi SIM dan menyaksikan karya para seniman, Bung Karno diterima di rumah Harijadi yang letaknya berseberangan dengan sanggar SIM. Sang Tamu Agung disuguhi teh hangat, yang sebelum dihidangkan, dicicipi lebih dulu oleh ajudan.
Tentu saja kunjungan itu merupakan peristiwa luar biasa bagi warga di kampung tersebut dan warga lain di kampung yang berdekatan dengan Bangirejo Taman. Mereka berlarian datang karena mendengar sirine polisi pemandu rombongan tamu.
Tatkala diterima di rumah Harijadi, Bung Karno terpesona pada lukisan “Pengungsi-pengungsi dari Daerah Merapi”, yang, menyimak tahun pembuatannya, lukisan itu masih dalam proses. Terjadi percakapan pendek Bung Karno dan Harijadi, dikutip sebagai berikut:
“Lukisan itu saya minta.”
“Tidak Bapak.”
“Lukisan itu saya beli!”
“Tidak Bapak.”
Bung Karno memahami keberatan Harijadi.
#3. Relief Tak Kunjung Usai
Perpindahan kekuasaan politik bisa berpengaruh pada keberlanjutan sebuah karya seni. Seniman Harijadi Sumodidjojo (1919-1997) pernah mengalaminya, seperti halnya juga pernah dialami oleh banyak seniman lain.
Antara tahun 1964-1965 Harijadi S. menyelesaikan karya relief di Ambarukmo Palace Hotel (APH) Yogyakarta dan di Samudera Beach Hotel (SBH) Sukabumi. Semua terbuat dari batu andesit, dan secara keseluruhan seluas 42,78 meter persegi. Relief di APH diberi tajuk “Untung Rugi di Lereng Merapi” dan yang di SBH bertajuk “Ombak Sepanjang Pantai”. Semua proyek seni diorder oleh Bung Karno, Presiden pertama RI.
Menyusul proyek tersebut, Harijadi akan menggarap karya relief lain di Bali Beach Hotel (BBH) di pantai Sanur, Bali. Hotel itu kini bernama Hotel Inna Grand Bali Beach. Karya di BBH sudah lama dipersiapkan, bahkan sudah diberi tajuk “Indonesia yang Akan Datang”.
Tapi setelah peristiwa G30S semuanya berubah. Relief itu baru tergarap kira-kira 10% dari rencana. Dana dari pemerintah pusat, dalam hal ini ditangani oleh Lembaga Pariwisata Nasional, tiba-tiba macet sama sekali. Harijadi S. dan sekitar 40 orang anggota timnya yang menggarap relief tak mungkin melanjutkan pekerjaan.
Hingga 5 tahun kemudian proyek terhenti dan tidak kunjung ada penyelesaian. Hingga pada suatu hari di tahun 1970an, Harijadi S diundang makan malam oleh Dirjen Pariwisata, Letkol MJ Prayogo sekeluarga. Acara berlangsung di Bali Beach Hotel.
Di tengah acara, Harijadi didatangi oleh seseorang yang parlente bernama Sani Soemakno. Beberapa saat dua orang itu meninggalkan tempat. Ketika Harijadi kembali lagi, Letkol Prayogo bertanya, “ada apa?” Harijadi pun menjawab, “Saya disuruh menghilangkan gambar Soekarno. Dengan janji, biaya pembuatan relief akan dialirkan lagi. Saya tidak mau.”
Akhirnya, Harijadi nyaris tidak pernah lagi menyentuh proyek seni relief itu hingga akhir hayatnya. Hotel tersebut pernah terbakar hebat, namun karya relief andesitnya tetap utuh hingga kini.
Lukisan itu tidak dilepas bahkan kepada seorang presiden yang jelas-jelas mencintai kesenian sekalipun, diduga karena waktu itu salah satu putri Harijadi, Rini Darpitoadi, sedang dalam keadaan sakit serius dan tipis harapan. Mungkin Harijadi sudah menyiapkan kenangan jika suatu waktu ditinggalkan putrinya itu. Dugaan lain, pada karya itu ada dua anak Harijadi sebagai model yakni Bambang dan Ireng.
Demikianlah Harijadi yang kukuh dalam mempertahankan prinsipnya. Kisah di atas bisa ditemukan dalam buku “Andesit untuk Bangsa”, tulisan Ireng Laras Sari. (Disarikan dari halaman 145-146-147 : awd)
“Andesit untuk Bangsa” akan diluncurkan dan didiskusikan pada Rabu, 20 November 2019, pukul 10.00-13.00 WIB, di Bentara Budaya, Jl. Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta.
Diskusi menghadirkan:
— Prof.Dr. M. Agus Burhan, Rektor ISI Yogyakarta dan kurator seni rupa.
— Dr. Nasir Tamara, Board Yayasan Biennale Yogya, Ketum Perhimpunan Penulis SATUPENA, pengajar di Prodi Ketahanan Nasional di Fakultas Sekolah Pascasarjana UGM.
— Ireng Laras Sari, penulis, puteri Harijadi S.
–Kuss Indarto, Moderator
Kehormatan besar bagi kami bila Anda meluangkan waktu untuk hadir.
Keluarga Besar Harijadi S
Bentara Budaya Yogyakarta
photo: Kuss Indarto, Andesit untuk Bangsa, Tempo, Indo Artnow, soass.cass.anu edu.au,
Add Comment