Oleh: Ir. Krisno Pudjonggo. M.M ( Jakarta Utara)
Sebagian besar masyarakat Purworejo pasti akrab dengan sosok legenda Nyai Bagelen yang petilasannya terletak tidak jauh dari jembatan Sungai Bogowonto. Kira-kira di km 12 dari arah Kota Purworejo menuju Jogjakarta.
Banyak beredar silsilah yang menggambarkan garis keturunan keluarga di Purworejo yang mengarah kepada beliau dan juga terkait dengan tokoh ulama Sunan Geseng. Urutan itu menyambung dengan silsilah Kerajaan Mataram bahkan Demak dan Majapahit.
Fenomena tersebut tak pelak menghantarkan idiom diri terhadap kebesaran nama Bagelen entah karena merasa terkait silsilah atau sekedar keluarga berasal dari tlatah Bagelen.
Nama Bagelen demikian bergaung bahkan pernah terpakai sebagai nama gedung bioskop yang sekarang menjadi gedung kesenian Sarwo Edhi Wibowo. Diabadikan pula oleh pengusaha roti lokal sekitar tahun 65 dengan nama Roti Bagelen.
Terkenal pula ketokohannya sebagai seorang jagoan yang disebut “Kentol” yang diakronimkan menjadi “Kentol Bagelen”.
Orang Purworejo merasa bangga jika disebut sebagai orang Bagelen, sebuah eksistensi diri yang sangat dikenal luas hingga sekarang.
Nama besar Bagelen bagaimanapun masih diagungkan oleh sebagian besar masyarakat Purworejo walaupun bekas-bekas kebesaran itu sudah tak kelihatan kecuali hanya menjadi nama kecamatan disisi timur Bogowonto yang tidak mempunyai hamparan sawah teknis dan jauh dari kata makmur.
Generasi mudanya banyak yang merantau ke Jakarta sedang generasi tuanya tinggal berjumlah hitungan jari menunggu tanah marjinal tak produktif. Masyarakat sekitar juga meyakini bahwa kakek buyut mereka adalah loyalis pasukan Diponegoro yang mempunyai basis pertahanan melawan Belanda disepanjang pedalaman Bagelan di perbukitan Menoreh.
Nama Purworejo tak pernah menghentak dikancah nasional, tetapi munculnya tokoh-tokoh pejuang 45 disebut berasal dari Tanah Bagelen semisal: WR Supratman, Kasman Singodimedjo, Achmad Yani, Urip Sumoharjo, Sarwo Edhi Wibowo, Pranoto Rekso Samodro, Panuju dll menjadi kebanggaan tersendiri.
Bagi sebagian orang mengkaitkan tokoh ini dengan masa kemerdekaan Indonesia menempatkan anggapan keliru kedudukan Kota Purworejo sebagai Kota Pejuang, padahal tak terjadi peristiwa heroik 1945 dikota ini. Banyak orang pinternya katanya.
Tlatah Bagelen dirunut dari sebuah nama besar Kerajaan Medang Kamulan dan disebut pula ada pada pemerintahan Dyah Balitung Watukoro yang sejaman dengan Candi Borobudur. Bagelen pernah berpusat disekitar kota Parakan bahkan Dieng, menggambarkan betapa pengaruh Bagelen tidak sekecil Kecamatan atau Desa Bagelen yang sekarang.
Keadaan tersebut tak hendak mau menengokkan Panitia Hari Lahir Purworejo merunut kearah ini tetapi lebih suka menengok pada kenangan pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1834. Entah bagaimana cara berfikirnya tetapi jelas miskin misi apalagi visi sehingga tak memunculkan sebuah motivasi kedaerahan secara positif.
Hilangnya nama Bagelen bersamaan dengan munculnya penamaan kota baru Purworejo yaitu penamaan dari gabungan daerah Brengkelan diutara dan Kedung Kebo diselatan. Entah bagaimana penamaan sebuah kota bisa berubah menjadi nama sebuah wilayah kabupaten seluas sekarang ini tentu mengandung pertimbangan geopolitik dan tujuan taktis tertentu.
Dari penjelasan sebelum penetapan hari lahir 1834 , pernah disebutkan keterkaitan sejarah Purworejo atas dasar Prasasti Kayu Arahiwang di tahun 901. Tahun tersebut terlalu jauh tetapi satu-satunya penjelasan tentang Bagelen ada padanya. Penjelasan itu salah jika terkait nama Purworejo tetapi menjadi benar jika nama Bagelen.
Nama Purworejo disebut oleh khalayak setelah 1834 yaitu setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang. Panitia hari lahir tak mau melangkah mundur menyebut sekitar sejarah Perang Diponegoro jelas tak menyebut pula sejarah tentang Bagelen.
Agak mengherankan jika dikaitkan dengan salah satu literatur yang penulis baca bahwa ada larangan penyebutan nama Bagelen dan Diponegoro oleh Gubernur Yan Pieterzoon Coen kiranya dipakai untuk menginspirasi sikap tersebut. Barangkali itu pula sebabnya hari lahir Purworejo diganti?
Dalam menyikapi masalah tersebut Panitia Hari Lahir Purworejo terkesan kurang cerdik, ada jalan pikiran yang berbelok jika atas alasan berdasar semenjak dimulainya pemerintahan Cokronegoro I maka sebetulnya Pemerintah Purworejo bersama DPRD telah melakukan mall praktek terkait sejarah.
Ulasan sejarah pada dasarnya untuk menumbuhkan motivasi diri secara positif, sebagai pijakan dasar filosofis politik daerah untuk maju kedepan, maka jika orientasinya justru mundur itulah sebabnya mengapa daerah ini tak bisa maju bergerak selincah daerah lain.
Agak berlebihan jika menyebut nama Bagelen tak punya pengaruh besar walau kenyataan itu telah banyak mempengaruhi jalan pikiran masyarakatnya. Seolah ada tabir yang menutup di Purworejo yang sesekali muncul dan terlihat pada saat hajad politik. Masalah hal itu adalah dikotomi sekitar kelompok pro kontra Diponegoro dan Cokronegoro yang menggelayut mengiringi proses demokrasi di Purworejo.
Ada tiga nama besar yang patut diperhitungkan untuk dapat terpakai sebagai pijakan filosofi dasar, dalam hal ini disatukan dalam maksud untuk menguatkan jatidiri daerah.
Nama itu adalah Bagelen, Diponegoro dan Cokronegoro. Bagelen dalam pengertiannya adalah nama sesungguhnya dari wilayah Purworejo patut diperjuangkan kembali untuk eksis. Diponegoro dalam cara pandang kolonial Belanda (waktu itu) adalah pemberontak namun beliaulah inspirasi nasionalisme kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya.
Seseorang yang memberi inspirasi nalar berfikir sekelas Bung Karno, HOS Cokrominoto, Douwes Dekker, Dr Sutomo dan tokoh-tokoh lain pada jamannya untuk merdeka.
Sebuah keadaan yang tidak disadari secara langsung oleh masyarakat Bagelen atau Purworejo. Cokronegoro seorang tokoh yang dianggap Belanda cakap memimpin walau dalam tanda kutip untuk kepentingan Belanda tak pelak beliaulah yang mengambil peran untuk terbentuknya wilayah Purworejo baru.
Dari keadaan tersebut tidak etis sekiranya mendudukkan nama Bagelen dan Diponegoro sebagai antitesis terhadap Cokronegoro tetapi sebagaimana cara berfikir baru untuk memberi motivasi daerah justru dengan melebur ketiganya dalam sesuatu yang visioner.
Tidak mudah merangkai maksud tersebut oleh sebab sudah sekian lama masalah tersebut menggelayut di Purworejo tetapi mengambil kemungkinan yang realistis yaitu mengarahkan kepada sebuah konsep politik yang sifatnya win-win solution.
Bagaimana mendudukkan masing-masing dalam posisi yang terhormat tanpa ada maksud mencela atau merendahkan untuk menjadi landasan dan pemicu semangat kedepan.
Dengan mengembalikan nama Kabupaten Purworejo menjadi nama Kabupaten Bagelen secara tidak langsung mengkaitkan sejarah daerah ini dengan nama besar Diponegoro. Sebuah cara untuk memberi penghargaan kepada beliau atas perjuangannya ditlatah Bagelen sekaligus memberi penghormatan kepada para pengikutnya.
Nama Purworejo dikembalikan menjadi nama kota (bukan Kabupaten), sebagai penghormatan abadi kepada Cokronegoro yang memang berinisiatip atas nama tersebut maka nama-nama tersebut ditujukan untuk menjadi nama baru yaitu “Kabupaten Bagelen dengan ibukotanya di kota Purworejo”. Sebuah jalan tengah yang elegan, seperti juga menyebut “Kabupaten Magelang dengan ibukotanya di kota Mungkid”
Merintis masa depan perlu merunut sejarah maka sejarah yang bengkok perlu lurus kembali agar tanah Bagelen mempunyai jiwa dan mampu menarik perhatian segenap pemangku kepentingan.
Merdeka !
Add Comment