Inspirasia

Mbah Man Gelung: Jejak Sang Blandong Fenomenal !

Oleh: Ilhan Erda

 

Bismillahiroohmanirohim…..
Allahuma watu telu watitu. Allahuma watu telu watitu.  watu telu watitu, watu telu watitu”

Sebuah daerah atau kabupaten yang seperti negara Kepulauan Indonesia dimana membentang dengan 17508 pulau ini. Sangat banyak sekali.  Belum dalam jumlah kabupaten dan  kecamatan. Ini adalah tinjauan demografis secara administratif.

Dengan logika dasar seperti ini saja, maka kaum awam akan mengaitkannya bagaimana dengan kekayaan atau ragam pesona dari sebuah adat, budaya dan kearifan lokal yang ada di dalamnya?

“Unity is Diversity”. Bersatu dalam Keragaman atau Bhinneka Tunggal Ika. Sebuah rumusan paten. Formulasi mutakhir yang tercipta di Nusantara  ini. Sangat agung dan tidak semua orang sampai pada takaran esensinya. Kembali  kemasalah keragaman dan pesona di setiap daerah.

Sebuah wilayah sebut saja Jawa di mana sekarang ada 5 yakni Jawa  Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, DI Jogjakarta. Masing-masing wilayah ini adalah sama dengan fase awal dengan budaya kratonik yang kental, jika dikeruuctkan ke atas akan ada tahapan-tahapan dengan puncak kebijaksanaan kebudayaan  yang Maha tinggi.  Mungkin akan menembus ke sampai tahap era Lemurian.

Tentu saja ada di atas tataran fase Atlantis. Karena di nuansa budaya atau era ini. Sebuah hikmat, atau bijak adalah menjadi puncak sebut saja  Satu Mahkota dalam perikehidupannya. Hidup sehari-hari nya rakyat dan bangsa itu.

***     ***     ***

Bismillahiroohmanirohim…
Allahuma watu telu watitu. Allahuma watu telu watitu, watu telu watitu, watu telu watitu”

Jawa yang dengan sejuta pesona budaya daerah serta manusianya. Penulis kali ini akan kembali mengajak para rakyat, pemuda di seluruh Indonesia dengan mengenal salah satu sosok, seorang yang pada usia saat itu. Di era tahun 1970 begitu fenomenal bukan hanya ada di lingkup Purworejo tapi juga Jaw Tengah, Jogjakarta dan Indonesia bahkan.

Fase 1970an. Memang pada zaman itu, hedonistik, liberalism, pemikiran barat belum seganas saat ini. Dan tataran rasa atau dalam memeluk jiwa dan hati dalam terkaman budaya Barat sedikit masih mending dibanding sekarang ini.

Beliau yang terlahir dari ratusan kilometer, kabupaten di barat Jogjakarta. Terkenal dengan kerasnya batu rock cadas, dan juga meajdi jazirahnya Jogjakarta pada saat itu. Wonosari Gunungkidul namanya.

Berpindah karena mendapat jodoh kerja, penghidupan ,istri atau  juga merupakan sebuah jalan dari Gusti. Membuat sosok bernama asli Satiman ini mulai melangkah dalam kehidupanya. Baik batin dan ragawinya di tanah yang pada masa lalu kesohor dengan nama Bagelen. Daerah para Begawan, Pendeta, Pencari Kebijaksanaan Hidup bertapa di sepanjang hulu sungai Bogowonto tentu saja.

Seakan Mbah Man Gelung  melengkapi ratusan sosok-sosok yang melegenda mulai dari jangkar era paska Mataram Islam. Tentu saja ada di zaman Mataram Kuno, dan beralih ke periode selanjutnya yakni di masa pra kemerdekaan, kemerdekaan dan sekarang ini.

Sebuah hegemoni keakuan sangat terasa disemua sector kehidupan. Definisi dan takaran materialistik begitu kental melanda semua orang. Baik sesepuh, orang tua dengan uban yang memutih hampir menutup semua kepalanya seharusnya dapat mengikat hikmat yang membuntuti disepanjang paruh usianya.

“Her, pergilah kau merantau. Jangan berlama-lama disini. Kau punya sejuta potensi dan aku tak rela hanya terkubur dalam termakan serigala waktu atau ganasnya waktu yang kan mengubur dirimu menjadi batu yang tak punya hati. “

Ciptakanlah sejarah buat dirimu sendiri.”

Kata-kata ini masih kuat melekat dibenak  seorang Heriyanto Sayuthi. Seorang tamatan SD, gelandangan di Bali, seniman jalanan, desaign grafis, pedagang barang etnik dan antik yang  ada di pinggiran kota Chambourchy Paris ini. Perjalanan ribuan mil sepelemparan jauhnya terbentang antra Baledono-Perancis ia lakukan. Kini ia memetik buahnya.

“Mbah Man mengajarkan sesuatu hal  yang sangat  sederhana sekali. Bagaimana bisa antara ucapan hati dan tindakan berjalan seiring. Itu saja. It,s a simpel. Dan ini sekarang terbukti menjadi sebuah peninggalan, barang berharga, pusaka yang mahal. Bisa hanya dijadikan sebuah komoditi, rekayasa dan pencitraan bagi segelintir oknum di semua lini kehiupan. Terutama bagi seorang politisi?

Hah Politisi?”


“Aku Dekat sama Mbah Man 4 tahun lalu. Justru karena aku punya keluarga.  Jangan terlalu lama di Baledono. Sosok sederhana dan respect terhadap alam sebagai unsur kehidupan. Kembalikan lagi Jawa sebagai tulang punggung, pamomong dan subjek utama harmoni semesta.”
 urai Heriyanto Sayuti.

“Aku ingin bernostalgia, bercengkerama dan belajar hidup dari Mbah Man Gelung. Aku tak mengalami langsung era dimana beliau ada dan hadir ditengah masyarakat. Simbah yang  senjata andalannya yakni kampak, arit dan seperangkat kembang setaman. Tapi aku jujur rindu akan sosok Mbah Man, sebagaimana Bapak, Simbah dan segenap rakyat Purworejo merindukannya atau menceritakan Mbah Man Gelung.” kata Oter Pradipta Ryan. Seorang pelukis arang asal Purworejo ini.

Puluhan tahun bergelut dengan pohon-pohon angker yang ada tidak hanya di sepenjuru kota Purworejo, tapi sampai desa-desa terpencil dan kuburan bahkan sebuah pohon Lontar di pusat kota Jakarta dengan instruksi istimewa dari seorang Menteri Besar yang ingin melenyapkan keberadaan pohon angker itu dengan bantuan  khusus Mbah Man Gelung.

Mbah Man Gelung telah memenangkan sebuah drama di kehidupan dunia ini. Dia bukan hanya secara telak meng KO beberapa lelembut dan juga cakap  sebagai Juru Runding yang handal. Bagaimana ia bisa melobby dan membuat para Juragan, Raja Dedemit, Genderuwo dan lainnya secara pamrih ataupun dipaksa sedikit kasar untuk mau meninggalkan istana megahnya. Sebuah hunian favoritnya dipohon-pohon besar berjenis  beringin, asem, pule, lontar, duwet, randhu hutan dan puluhan jenis pohon lainnya.

Tercatat seperti dirangkum dari berbagai sumber. Pohon-pohon legendaris dan sempat menjadi ikon yang meraja beberapa puluh tahun di awal berdirinya kota ini di era Cokronegoro juga berhasil dengan lancar  tanpa halangan suatu apa di babat Mbah Man Gelung   dengan tangkas. Seperti pohon beringin kurung kembar di tengah alun-alun, pohon beringin di gedung Otonom, pohon beringin ,pohon asem di terminal Purworejo, pohon beringin di Stasiun  kereta api Purworejo, pohon sawo di komplek SPG Purwprejo dan  ratusan pohon lainnya.

Ini bukan sebuah dedikasi. Bukan sebuah ketulusan. Mbah Man Gelung telah purna dengan dirinya. Beliau tahu dan mampu sampai pada tataran manunggal. Dengan ajaran, dengan pilihan dan konsekuensi yang dipilihnya.

Coba sebentar saja kita ingat kembali beberapa wejangannya:

“Hidup enak, tenteram dan panjang umur adalah dambaan semua orang. Padahal penawarnya ialah sederhana sekali. Jujur, sabar dan welas asih. Peka akan sekitar   dalam artian sombong, keakuan harus dibuang sejauh mungkin.”

Almarhum yang meninggalkan anak 5 dan cucu 7 buah ini memang telah meninggal dan tinggalan  sejuta misteri dan pesona yang tak akan begitu saja lekas padam. Terutama bagi para anak buah, murid tebang yang pernah hampir separuh hayat mengikuti beliau. Atau para Bupati yang menjabat mulai dari periode pemerintahan Bapak Bupati Suharto AH bin Harjo Kartoatmodjo yang juga Bupati Purworejo sampai Bupati Kelik Sumrahadi Grabag.

Ada lagi testimony dari sahabat di dunia maya dengan inisial nama Pirutcomel. Demikian ia berkata:

Sopo sing ingkar marang wasiat ingkang diamanahkan.
Sami mawon ingkar janji.
Janji meniko utang.
Menawi mboten dilaksanakan
Saged ditagih wonten akhirat.
Meniko urusane malah luwi ribet lan aurat.
Masih mending menawi saget memenuhi wasiat wonten dunyo.

Tasih saget gotong royong lan saling bantu.

Sungguh banyak cerita, ingatan lalu dan romantisme yang dikenang dan ditinggalkan  oleh seorang figure  Satiman alias Mbah  Man Gelung. Dan kita sebagai penerus idea dan gagasannya, tentu tak mau hanya menjadi  monument hidup, mumi hidup yang diam saja melihat kondisi seperti ini terjadi. Di kabupaten yang konon katanya tertua se Indonesia, kota yang melahirkan sejuta pahlawan di berbagai bidang seperti termaktub dalam buku Mutiara dari Bagelen juga.

Wajib hukumnya. Kembalikan Jawa sebagai tuan rumah. Bagelen sebagai Sang pamomong. Agar semesta kembali tersenyum. Purworejo kembali rejo dan makmur seperti di awal berdiri. Dan mampu serta berani  untuk hidup apa adanya, jujur dan menghilangkan  sejuta angkara yang membelit  dan membuat sesak hidup, sedikit sahabat sekaligus menyengsarakan sesama.

Hidup adalah pilihan. Dan Mbah Man Gelung mengajarkan ini semua. Untuk para murid, sahabat dan segenap rakyat Purworejo. Bagaimana beliau puluhan tahun belajar dengan alam. Mencari guru sejatinya hidup. Bercengkerama dengan dedaunan, bercumbu dengan lelembut. Dimana pangkal dari semuanya itu tak lain ialah tahu apa dan tugasnya di Bhumi Purworejo yang telah memberikannya rejeki, anak keturunan, rumah.

Pun sangat sederhana sampai beliau diujung usia. Dan mungkin dipandang sebelah mata, terbalik dengan kaum penyembah materi, para manusia dungu yang kebetulan hidup di zaman sekarang.

Kita harus ingat bagaimana wejangan beliau kepada Mujinem. Putrinya.:

“Beng, mbesuk nek aku wes ninggalno dunyo iki. Aku njaluk karo kowe karo anak-anakku (murid-murid Mbah Man Gelung). Kae Tugu soko gapuro makom Cokronegoro neng ngarep kui. Wenehno neng kuburanku. Ojo lali welingku yo Beng…”

Ya, sedikit kisah dan memorabilia ini kembali menyadarkan  saya, kalian semua sedulur-sedulur Bagelen-Purworejo yang baik bagaimana dalamnya, agungnya pesan dari seorang manusia Jawa yang khas. Manusia Jawa yang telah purna dengan kehidupannya. Tak risih dengan sesama.Tak risau dengan dunia.

(Untuk murid-murid Mbah Man:Heriyanto Sayuti di Prancis, Oterr dll)