Oleh: Oyos Saroso HN
Bagelen adalah sebuah nama desa yang dipercayai masyarakat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sebagai cikal bakal daeral asal-usul masyarakat Purworejo. Nama daerah yang berjarak sekitar 50 km sebelah utara kota Yogyakarta itu sejak tahun 1900-an tak hanya dikenal di Pulau Jawa, tetapi juga di Provinsi Lampung.
Itu karena pada tahun 1901 pemerintah Belanda memindahkan 155 kepala keluarga dari Desa Bagelen ke sebuah hutan belantara di Lampung melalui program perluasan areal pertanian (kolonisasi). Orang-orang dari Pulau Jawa diangkut ke Lampung untuk membuka areal pertanian untuk kepentingan Belanda.
Warga Bagelen yang dipindahkan ke Lampung juga menamai kampung barunya dengan nama Bagelen. Kolonisasi warga Bagelen itu merupakan program pertama yang dijalankan pemerintah Belanda di Indonesia.
Rombongan kolonis dari Jawa diangkut menggunakan kapal laut. Setelah sampai di pelabuhan Panjang, selanjutnya para kolonis itu berjalan kaki sejauh lebih dari 70 km menuju Gedongtataan, Lampung Selatan (sebelah utara Bandarlampung) selama 3 hari. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul. Kini Gedong Tataan masuk Kabupaten Pesawaran.
Setelah ratusan kepala keluarga dari Bagelen diangkut ke Lampung, gelombang pemindahan penduduk dari Pulau Jawa pun terus berlanjut. Gelombang pertama tahun 1905 hingga 1911. Gelombang kedua tahun 1911 hingga tahun 1939. Gelombang ketiga terjadi ketika Indonesia sudah merdeka. Setelah merdeka, program perpindahan penduduk dari Jawa ke Lampung itu pun dilanjutkan. Namanya bukan kolonisasi, tetapi transmigrasi.
Penyelenggara transmigrasi awal itu juga beraneka rupa mulai dari Polri dan TNI, Dinas Sosial dengan program Trans Tuna Karya dan Trans Bencana Alam serta Trans Pramuka. Yang ikut dipindahkan pun bukan hanya orang-orang sipil, tetapi juga pensiunan tentara Indonesia (TNI). Itulah sebabnya sekarang di Lampung Selatan terdapat perkampungan yang sebagian besar penduduknya bekas anggota TNI.
Pada periode tahun 1950-1969 perpindahan penduduk ke Lampung mencapai 53.263 keluarga atau sebanyak 221.035 jiwa. Memasuki era Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Lampung mendapat lagi tambahan penduduk sebanyak 22.362 kepala keluarga asal Jawa, Madura, dan Bali. Gencarnya perpindahan penduduk itu berdampak pada terjadinya ledakan penduduk. Kalau pada tahun 1905 penduduk Lampung kurang dari 150 ribu dan didominasi suku asli Lampung, kini orang Jawa di Lampung mencapai sekitar 60 persen dari total penduduk Lampung sebanyak 7 juta jiwa.
Sama seperti para kolonis yang dibawa Belanda ke Lampung, para transmigran asal Jawa yang ditempatkan di Lampung pun mendapatkan aneka perbekalan dari pemerintah. Selain bahan makanan seperti beras, jagung, minyak, mereka juga mendapatkan rumah-rumah bedeng beratap seng atau asbes dan perabot rumah tangga seperti cangkul, sabit, sekop, piring, mangkuk, meja, dan kursi.
Program yang merupakan bagian dari politik balas budi Belanda itu, sebenarnya diarahkan untuk mendukung upaya Belanda mengelola tanah perkebunan di Lampung. Bukan hanya orang-orang Bagelen dipindahkan ke Lampung, tetapi juga orang-orang dari berbagai daerah lain di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Para transmigran awal itu ditempatkan di kawasan Gedongtataan (sekarang masuk Kabupaten Pesawaran, Gadingrejo (Kabupeten Pringsewu), Wonosobo (sekarang masuk Kabupaten Tanggamus), Metro, Lampung Tengah, Batanghari (Lampung Timur) dan Kabupaten Tulangbawang.
Tak hanya barang-barang yang mereka bawa dari Jawa Pulau Jawa. Para kolonis itu juga membawa nama desa dan kebudayaan mereka di tanah yang baru. Maka, sambil membuka hutan menjadi areal pertanian, para kolonis itu juga membangun desa-desa dan melanjutkan tradisi budayanya.
Kolonialisasi Desa Bagelen
Program kolonisasi pertama berlangsung pada tahun 1905. Saat itu, kafilah generasi pertama adalah Almarhum Bapak Kartoredjo, cikal bakal kolonisasi desa Bagelen angkatan 1905, melalui anaknya yaitu Bapak Sudarmo (Majalah dewi 1980) menjelaskan bahwa rombongan kolonis dari jawa diangkut dengan kapal laut merapat di pelabuhan Teluk Betung.
Rombongan kolonis angkatan almarhum Bapak Kartoredjo, setelah sampai di pelabuhan Teluk Betung, selanjutnya berjalan kaki menuju Gedong Tataan selama tiga hari. Barang-barang bawaan dari Jawa dipikul, bila lelah rombongan tersebut istirahat. Daerah yang dituju yaitu Gedongtataan masih berupa hutan belukar, demikian cerita yang lahir di desa Bagelen Gedongtataan pada tahun 1910.
Almarhum Sudarmo juga menjelaskan (Lampost 24/08/78) bahwa rombongan kolonisasi angkatan almarhum Kartoredjo sebanyak 43 orang, 3 diantaranya adalah wanita untuk tugas khusus masak memasak. Sementara itu, mbah Dono Pawiro (Kolonis angkatan 1908) juga bercerita (majalah Dewi, 1980) betapa sulitnya menerobos hutan. Saat itu ia masih anak-anak dan mengaku belum dikhitan. Rombongan orang dari desa Bagelen Purworejo Jawa Tengah itu menurut almarhum mbah Dono Pawiro berjumlah ratusan orang.
Kedatangan para kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah ke Gedongtataan tidak terjadi sekaligus, akan tetapi rombongan tersebut datang secara berangsur-angsur seiring dengan kesiapan penyiapan lahan yang dilakukan oleh rombongan pendahulunya.
Secara umum rombongan dari Jawa yang datang ke Gedongtataan dibagi 5 tahap, yaitu pada tahun 1905 (angkatan pertama) pada tahun 1906, 1907, 1908, dan tahun 1909. Hal ini berarti kedatangan rombongan tersebut direncanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama 5 tahun berturut-turut.
Selanjutnya, pada tahun 1910, Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan tanah-tanah desa Bagelen Gedongtataan pada rakyat desa untuk 537 bauw atau ± 424 Ha, setiap KK mendapat bagian tanah 1 bauw dengan perincian 0,25 bauw untuk pekarangan dan 0,75 bauw untuk persawahan atau perladangan.
Secara terperinci, bedasarkan monografi desa Bagelen Gedongtataan, jumlah rombongan kolonisasi dari daerah Bagelen Purworejo Jawa Tengah yang datang ke Gedongtataan adalah sebagai berikut :
- Tahun 1905 : 43 orang, terdiri dari 40 orang lakiki-laki dan 3 perempuan, dipimpin oleh Tuan Eteeng.
- Tahun 1906 : 203 orang (100 KK), dipimpin oleh Tuan Heers.
- Tahun 1907 : 100 orang (50 KK), dipimpin oleh Tuan Alweek.
- Tahun 1908 : 500 orang (250 KK)dipimpin oleh Tuan Baang.
- Tahun 1909 : Jumlah jiwa yang didatangkan tidak jelas, begitu pula yang memimpin.
Perkembangan Desa Bagelen
Dulu (1905) hingga 6 Juni 1987, Desa Bagelen ini terdiri dari 10 pedukuhan, yaitu : Pedukuhan bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, Bagelen IV, Bagelen V (Jembarangan), Bagelen VI (Kutoarjo I), bagelen VII (Kutoarjo II), Bagelen VIII (Karang Anyar I), Bagelen IX (Karang Anyar II), dan Pedukuhan Bagelen X (Wonorejo).
KINI, sejak tanggal 6 Juni 1987, Desa Bagelen telah dimekarkan menjadi beberapa desa, dan sekarang wilayahnya terdiri dari : pedukuhan Bagelen I, Bagelen II, Bagelen III, dan Pedukuhan Bagelen IV.
KEPALA DESA BAGELEN DARI WAKTU KE WAKTU :
- Bapak POERWO : 1905 – 1907
- Bapak KARTOREDJO : 1907 – 1912
- Bapak SASTRO SENTIKO : 1912 – 1920
- Bapak PAWIRO TINOYO : 1920 – 1945
- Bapak MANGUNREJO : 1945 – 1958
- Bapak SASTRO SUWARNO : 1958 – 1968
- Bapak SUPARMAN : 1968 – 1970
- Bapak AHMAD FARIJI : 1970 – 1980
- Bapak TOYO DAY RIZAL : 1980 – 1988
- Bapak WAGISO : 1988 – 2006
- Bapak EDI SUPRIYANTO : 2006 – Sekarang (2009)
source: Oyos Saroso HN, PesawaranKab.go.id
Saya mencari jejak keluarga di Bagelen / Magelen ( buyutku menyebutkan tempat ) dia punya saudara bernama buyut bethong dan buyut kesut
buyutku bernama Wagiyem
bapak di mana?