Feature

Nungki Nur Cahyani, Penari Kutoarjo yang Mendunia

Oleh: Setiyo Bardono ( Kota Depok)

Purworejo, kota sunyi di Jawa Tengah tak henti melahirkan sosok-sosok berprestasi. Salah satunya Nungki Nur Cahyani, penari dan koreografer dengan segudang pengalaman pentas hingga ke manca negara.

 

Saat ini, Nungki sedang tekun berlatih untuk pementasan Tari Pager Bumi (Jalan Sunyi Manusia Jawa) karya sutradara Garin Nugroho. Dalam pementasan tersebut, Nungki membawakan beberapa karakter, sebagai permasuri, pembantu, dan Dewi Sri. Pager bumi akan tampil di Yogyakarta pada 25 Maret 2017 sebelum diboyong ke Brisbane, Australia pada 1 April 2017.

“Awal mulanya, mas Garin mencari talent untuk berproses dengannya di Yogyakarta. Beliau dipercaya dan di-support Dinas Kebudayaan Yogyakarta untuk membawa misi kesenian ke Australia,” ungkap penari yang pernah menempuh studi Pasca Sarjana UGM Yogyakarta jurusan Media and Cultural Studies ini.

 

Penari kelahiran di Purworejo, 17 September ini mengaku bakat menarinya sudah terasah semenjak kecil. Sejak umur empat tahun, Nungki sudah sering mengikuti ayahnya latihan menari di sanggar dengan kedua kakak perempuan dan kedua adik perempuannya.

 

“Tapi dari ketujuh bersaudara cuma aku yang fokus menggeluti dunia tari hingga sekarang,” terang Nungki yang selepas lulus SMPN 2 Kutoarjo hijrah ke Solo untuk memperdalam tari melalui pendidikan formal di SMKI Surakarta kemudian pada STSI Surakarta (ISI). Tak heran jika banyak orang melabeli Nungki sebagai orang Solo.

 

Sebagai Penari, Nungki telibat pada beragam karya pementasan karya-karya Djarot B. Dharsono dalam “Bala Dhupak” (1995), “Bila 45-17=51”, “Bedhaya Jati” (1996),”Sendok Porok” (1997); Eko Supriyanto dalam “Nya-Hi” (1996),“Sang Akurat Bulan” (1997), “Sang Akurat Bulan dan Batu” (1998); Budhi.S. Buchiel “Puisi/Doa Buat Sang Bapak” (1996); Sen Hea Ha “Solo City”, “Time is Goes On”, “Beautiful Woman (Ibu-ibu)” (2000); Mugiono Kasido “Njungkir” (1999); Fajar Satriadi “Mandrawaca” (1998), “Sutasoma” (2002), “Asmarandana Garuda” (2003); Sardono W. Kusumo “Soloensis” (1999) di Brazil, “Opera Diponegoro” (2002); karya kolaborasi Eko Supriyanto dan Suprapto Suryodarmo “Maria Madonna” (2003); dan lain-lain. Nungki juga sering mendukung pertunjukan Wayang Suket karya Slamet Gundono dan aktif dalam pertunjukan bersama Komunitas Lima Gunung di berbagai kota.

 

Menurut Nungki, saat paling indah menjadi orang panggung adalah ketika bisa sukses membawakan peran dan mendapat applause serta ucapan selamat dari penonton. Tapi selama hidup di dunia tari yang berkesan baginya adalah ketika berproses mencipta karya tari “Mendut” sebuah adaptasi dari novel karya YB. Mangun Wijaya, pada 2009-2011. “Di situ banyak suka duka dengan penari dan kru, mengalami kesulitan finansial karena tidak ada sponsor sama sekali.

 

Namun segala kesulitan seakan sirna ketika penonton menyukai karya ini. Bahkan seolah nama Mendut sudah melekat dalam diriku,” lanjutnya.

 

Karya-karya Koreografinya pernah dipentaskan di berbagai kota seperti di Solo antara lain “Ada” (1997), “Bingkai” (1998), “Dongeng Bocah yang Terlupa” (1999), “Kataku” Kolaborasi dengan Kandhi Wirastuti (2000), “Dua/Two” kolaburasi dengan Ade Suharto (2000), “Ini Aku” (2001), “Sukma dan Bulan Sabit” (2003), “Disenchantment” (2007), “Mendut” (2010), dan “Nyanyian Angsa” (2010) kolaborasi bersama Tyaz De’Nio. Pementasan lainnya “Pesan Buat dan Dari Mama” (Jakarta, 1998), “Flower Shoes of Asia” (Korea, 1999), “Doll” (Solo dan Yogyakarta, 2001), “Indonesians Blues” (Surabaya, 2001), “Wajah Rembulan” (Solo, Surabaya, dan Malang, 2001), “Detak” (Solo dan Yogyakarta, 2002), “Mirror” (Solo dan Pontianak, 2006); “Body and Soul” (Yogyakarta, 2006), “115_On Click” (Surabaya, 2008), “Makin Bergerak Makin Banyak” (Yogyakarta, 2011); “Ruang Rasa” (Tasikmalaya dan Yogyakarta, 2011), “Asmarandana Dewi Sri” (Magelang), serta “Mendut” (Yogyakarta dan Selasar Soenaryo Bandung, 2011).

 

Nungki pernah menampilkan “True Colours” karya kolaborasi dengan Asuka Kanemori dari Jepang dalam Bedog Art Festival 2012 di Yogyakarta. Pada 2015, Nungki berkolaborasi dengan Komunitas Lima Gunung menggarap “Ritus Bedhayan Dolalak” di Kecamatan Bruno, Purworejo. Karya koreografinya “Ni Centhini” tampil di Centhini Gunung-Borobudur Writers and Culture Festival di Magelang 2016 dan “Cinta dalam Hujan” di International Rain Festival 2017 di Sukoharjo-Solo. Berderet karya koreografi lainnya kerap tampil di berbagai festival di berbagai kota di Indonesia.

 

Walau memiliki segudang pengalaman di pentas tari dan menghasilkan banyak karya koreografi, Nungki tetap sosok yang rendah hati. Ia mengaku jarang sekali mengikuti lomba atau festival yang sifatnya kompetisi, bahkan bisa dibilang jarang punya piala.

 

“Tapi saat mencipta tari untuk siswa tingkat SMA beberapa kali membawa pulang piala, meski hanya juara dua, tiga atau juara harapan,” ungkap Nungki yang pernah berperan sebagai Mangkorowati dalam film “Diponegoro” karya sutradara Armantono.

 

Selain menari, Nungki juga senang berproses dan pernah aktif berteater, antara lain sebagai pemain dalam “Diorama” sutradara Winarto (1995), “Merdeka Sakit” sutradara Helmi Prasetyo (1996), “Doran” sutradara Nusa Cahayadi (1997), Monolog “Kamar 1210” sutradara Meong Purwanto (1998), dan “Kanjeng Ratu” sutradara Esha Kardus (2000).

 

Bagi Nungki, seni merupakan salah satu aset bangsa yang harus tetap dipupuk dan dihargai keberadaannya. Apapun itu, khususnya tari. “Negeri kita sangat kaya ragam tari dari berbagai etnik. Ini tidak boleh punah dan harus ada regenerasi untuk menjaga. Maka saya sangat setuju dengan program pemerintah untuk mengajarkan seni sejak usia dini dan tiap tiap jenjang pendidikan.

 

Tidak hanya sekedar untuk nguri-uri kabudayan, tetapi dengan seni dapat membentuk karakter generasi kita,” kata Nungki yang juga pengajar SMK Dirgantara Putra Bangsa Yogyakarta untuk mata pelajaran Grooming and Ettiquette serta Seni Budaya.

 

Nungki berharap generasi muda lebih kembali mencintai budaya tradisi Indonesia, mau melihat dan mempelajari seni sehingga seni terjaga dan tidak tergerus oleh jaman. “Meski di era globalisasi banyak jenis tari barat masuk di negeri kita dan digemari kaum muda, tetapi tetap mencintai budaya bangsa sendiri adalah sikap yang arif,”pungkasnya.

sumber asli: reviens