Oleh: ST Sularto
Dimulai di Purworejo
Dalam mensyukuri nikmat Allah Swt tidak pernah saya lupakan perjalanan hidup saya yang dimulai dari Purworejo. Sebuah kota kecil di Kedu Selatan. Ingatan kembali ke masa kecil yang saya lewatkan dengan sangat indah serta penuh kebahagiaan. Bapak saya (almarhum) Idris Siswomihardjo dan ibu saya ( almarhumah) Supi Kusmartiyah dengan segala kearifan dan kesuritauladannya selalu dapat menciptakan suasana hangat dan rukun dalam hidup keseharian kami sekeluarga.
Almarhum bapak bekerja sebagai mantri boekhouder di Algmene Werken di Regentchap Purworejo. Sedang almarhumah Ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang buta aksara. Namun demikian, kedua orang tua saya telah berhasil membesarkan saya dengan tujuh orang kakak, serta satu orang adik.
Keluarga besar kami tinggal di Kampung Kauman-Purworejo, di sebuah rumah yang sederhana. Saya sehari-hari bertetangga dan bermain dengan anak-anak seusia yang berasal dari keluarga yang mempunyai tingkat kehidupan ekonomi dan sosial sama dengan keluarga saya.
Pendidikan dasar pertama kali saya kenal ketika ketika masuk Kleuterschool yang kemudian dilanjutkan dengan masuk ke Hollands Indlandsche School sampai kelas 6. Saya selalu mengenang masa kecil saya di Kauman Purworejo yang sarat dengan nilai-nilai religious sebagai masa kecil yang sangat bahagia. Dengan gaji bapak yang tidak besar, saya sekeluarga tidak pernah merasakan kekurangan dalam hal sandang maupun pangan.
Semua tidak lepas dari hebatnya almarhumah Ibu dalam mengelola keuangan keluarga. Namun kebahagiaan yang saya rasakan dalam rumah dan di kampung Kauman Purworejo seringkali terusik manakala saya pergi ke kota. Saya menjalani masa kecil saya dalam suasana penjajahan Belanda.
Masih jelas dalam ingatan saya, bahwa di salah satu sudut Kota Purworejo, berdiri bangunan megah Europese Lagerre School, tempat bersekolah anak-anak Belanda. Pada hari Minggu kalau saya di boncengkan kakak dengan sepedanya pergi ke kota, untuk bersenang-senang, saya selalu melihat pemandangan yang sampai hari ini tidak pernah saya lupakan.
Di sepanjang jalan begitu banyak berdiri loji tempat tinggal keluarga Berlanda. Selain itu begitu banyak berseliwerannya mobil-mobil di jalanan dengan berpenumpang anak-anak Belanda.
Pada saat itu belum pernah sekalipun saya merasakan naik mobil, bahkan untuk hari yang pentingpun keluarga saya pada saat itu tidak mengenal mobil.
Suatu pagi, di saat saya harus ke rumah sakit untuk di khitankan, saya hanya di boncengkan sepeda oleh kakak saya ( almarhum) Sutoyo Siswomihardjo, yang di kemudian hari di kenal sebagai salah seorang pahlawan revolusi.
Yang ada di dalam benak saya adalah impian sederhana seorang anak usia 12 tahun. Yaitu saya ingin merasakan naik mobil dan tinggal di loji, rumah bagus yang seluruh bangunannya terbuat dari batu.
Awal tahun 1942 datanglah bala tentara Jepang setelah terlebih dahulu mengusir Belanda. Awal tahun 1948 ada perjanjian Renville. Ada gencatan senjata, kesempatan itu saya gunakan untuk melanjutklan pendidikan dengan masuk SMA negeri di Surakarta.
Saya masuk di kelas pengungsi. Pada akhir tahun, tepatnya Desember 1948 Belanda ternyata melanggar Perjanjian Renville dan kembali berkobar perang. Sekolah terpaksa di tutup, bahkan ada yang dibumihanguskan oleh siswa sendiri agar bangunan tidak di manfaatkan oleh Belanda.
Pada clash kedua tersebut saya kembali ke Purworejo untuk bergabung bersama teman-teman Tentara Pelajar, meneruskan perang gerilya di daerah Kedu Selatan. Saya jalani masa gerilya sampai tahun 1949. Akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatannya. Bersamaan dengan itu, otomatis Tentara Pelajar di dibubarkan, dan para anggotanya mendapatkan SK Demobilisasi. Banyak dari teman yang meneruskan di jalur tentara dan saya memilih meneruskan di SMA Negeri Magelang.
Tahun 1951, setelah menamatkan SMA Negeri Magelang, saya melanjutkan pendidikan dengan mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Sosial & Politik jurusan Sospol di UGM Yogyakarta. Selagi masih kuliah, bersama dengan beberapa teman eks Tentara Pelajar, saya sempat mendirikan SMA Negeri di Purworejo, dan sekaligus menjadi salah satu pengajarnya.
Pada saat itu, SMA tersebut merupakan SMA Negeri yang pertama di Indonesia yang di dirikan disebuah Kabupaten. Maksud pendirian pada waktu itu ialah untuk membalas jasa rakyat Kedu Selatan yang selama masa perjuangan ikut berjuang. Saya bersama teman-teman “mengimpikan” melalui berdirinya sekolah tersebut, masyarakat Kedu Selatan dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, tanpa harus meninggalkan Purworejo.
Sebagai catatan, sekolah SMA Negeri 1 Purworejo pada tanggal 10 Juli 2010 memperingati lustrumnya yang kesebelas dengan dengan menyelenggarakan reuni akbar. Hal ini dapat menjadi bukti terwujudnya sebagai impian kami para bekas pejuang, karena banyak lulusan sekolah yang kami dirikan banyak menjadi “ orang”.
Saya lulus dari Sospol UGM tahun 1958. Dan berkeluarga dan mempunyai anak. Saya memutuskan mengabdi di almamater dengan menjadi pendidik, tepatnya dimulai dengan menjadi asisten Prof Notonagoro, yang menjadi pengajar mata kuliah Ilmu Filsafat. Hal inipula yang menjadikan saya tertarik pada Filsafat. Tahun 1982 saya menyelesaikan pendidikan Doktor di bawah bimbingan Prof CA Van Peursen dari Universitas Leiden-Belanda.
**** **** ****
Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, selama 74 tahunsudah pasti banyak yang telah berubah. tidak hanya pada bangsa ini, tetapi juga pada diri saya pribadi. Kehidupan masa kecil, masa remaja serta impian-impian saya tentang beratnya peperangan dan kesederhanaan kehidupan telah lama lewat.
Masa lalu itu menjadi dari masa lalu saya, yang akan selalu menjadi kenangan indah. Lalu, apakah impian-impian sederhana saya pada masa lalu sudah terwujud? Saya dapat mengatakan bahwa memang demikian halnya bagi saya pribadi.
Apa yang saya pernah untuk impikan untuk dapat memiliki loji, mobil atas perkenaan Nya sudah dapat saya nikmati bersama keluarga. Pendidikan yang yang harus saya jalani dalam suasana perang sudah dapat saya tuntaskan. Dan mencapai gelar akademik tertinggi dengan jabatan guru besar. Bisa dikatakan saat ini kenikmatan kehidupan duniawi dalam ukuran saya dan keluarga sudah saya dapatkan.
Sebagai seorang pegawai, saya mampu mengantarkan kedua anak saya dengan pendidikan tertingginya. Dan anak serta mantu saya kini juga mengabdkan diri di UGM Yogyakarta sebagai pengajar. Selain telah menunaikan ibadah haji di tahun 1994 , saya bersama keluarga juga sudah bisa mempunyai kesempatan mengunjungi negara lain melalui acara-acar liburan. Suatu kenikmatan yang tidak pernah saya impikan pada masa kecil saya.
Selain kenikmatan kehidupan yang saya rasakan sekarang bersama keluarga, juga harus ada pemahaman baru yang saya terima karena zaman telah berubah. Pernah ada dalam periode hidup saya, karena tidak suka dengan bule dan selalu saya kaitkan dengan penjajahan. Tetapi untuk membangun Indonesia baru, saya sadar bahwa ternyata bangsa kita tidak bisa lepas dari keterlibatan peran bangsa asing. Mulai dari peminjaman uang, tenaga ahli, produk luar dll.
Dengan bangsa Belanda, saya ada keterlibatan emosi, karena sejak tahun 1968, saya bersama istri menjadi anggota pengurus Yayasan Karta Pustaka di Yogyakarta. Yayasan tersebut merupakan pusat kebudayaan Indonesia-Belanda di bawah naungan Kedutaan Besar Belanda.
Kenikmatan-kenikmatan yang saat ini saya rasakan bagi kehidupan saya pribadi dan keluarga, tidak berarti saya sudah puas dengan kehidupan bagi bangsa ini. Dengan selalu mensyukuri nikmat Allah Swt, sebagai seorang warga bangsa saya mempunyai “ impian baru”, bagi bangsa kita.
Wilayah Indonesia yang begitu luas, saya menyadari untuk dapat melihat kesejahteraan pada semua bidang. Sosial, kesehatan, pendidikan dan ekonomi secara merata bagi seluruh warga bangsa sangatlah tidak mudah. Tetapi itulah impian saya untuk bangsa kita.
Sebuah pesan dari seorang teman eks Tentara Pelajar adalah untuk selalu menggengam semangat, merenda makna serta mengukir arti dari perang kemerdekaan yang pernah kita jalani. Dan pesan tersebut selalu saya pegang teguh. Dalam usia saya yang sudah senja, saya selalu mohon kehadirat Allah Swt untuk petunjuk & bimbingannya, dan saya menitipkan “ impian” bagi bangsa Indonesia pada anak cucu saya bersama generasinya.
(Yogyakarta, 2010.)
Sumber asli: Mimpi Manusia Tiga Zaman, Guru-Guru Keluhuran hal: 107.
photo:Fithri Edi,
Add Comment