Feature

Prof Komarudin Hidayat: ” Driyarkara, Putra Bangsa Yang Visioner”

Oleh: Prof Komaruddin Hidayat

Terlahir di lereng Pegunungan Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1913. Kaligesing tepatnya. Orangtuanya memberi nama Soehirman, tetapi setelah memulai hidup baru di Serikat Jesuit (SJ), lalu berganti nama Driyarkara.


Kecerdasan Driyarkara sudah terlihat sejak kecil. Bahkan, ketika duduk di kelas satu SMA, ia sudah menciptakan nama majalah seminar bernama Aquila yang berarti Rajawali.

Namun, Aquila sendiri merupakan akronim dari Augeamus Quam Impensissime Laudem Altissimi (bahasa Latin) yang berarti kira-kira “Marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran Yang Mahatinggi”.
Himpunan karya Driyarkara setebal 1.500 halaman ini merupakan rekaman pengembaraan intelektual sang rajawali dari bukit Menoreh, salah seorang anak bangsa yang pantas dibanggakan.

Karya-karya tulisnya mengasyikkan untuk dibaca, seakan mendengarkan langsung kuliah dari sosok guru yang cerdas dan komunikatif.

Pembaca bisa memilih topik yang dikehendaki secara selektif karena tema yang disajikan sedemikian luas, meliputi persoalan negara, ideologi, pencarian makna hidup, pendidikan, dan kebudayaan. Gagasan besar dan pendekatan filsafat yang selama ini dipersepsikan njelimet dan berat, lewat tangan Driyarkara narasi filsafat menjadi cair, enak dibaca, bagaikan novel.

Bagi mereka yang sudah akrab dengan studi filsafat, buku ini memberikan inspirasi bagaimana disiplin filsafat dijadikan alat analisis dan refleksi kritis untuk meresponi masalah empiris sehingga filsafat tidak terpisah dari konteks kehidupan nyata, baik pada tingkat mikro maupun makro.

Lewat buku ini pembaca juga akan mengenal lebih dekat pemikir-pemikir besar filsafat seperti Edmund Husserl, Max Scheler, dan Maurice Merleau-Ponty. Dari sekian pemikir yang disajikan, tampaknya Malebranche memiliki tempat khusus bagi Driyarkara yang menekankan subyek sebagai persona yang senantiasa mengada bersama yang lain, bukannya relasi yang ingin menaklukkan atau menindas.


Dengan mengulas Malebranche, Driyarkara mengingatkan kita bahwa pengetahuan dan pendekatan ilmiah tidak cukup untuk mengerti totalitas dan misteri hidup itu sendiri. Apa yang dialami, dihayati, dan dicari manusia jauh melebihi apa yang bisa disajikan oleh logika murni dan penjelasan ilmiah.

Dalam hal ini tampaknya Malebranche mendahului Kant dalam melakukan kritik terhadap akal murni. Keyakinan dan kerinduan kepada Tuhan tidak cukup dengan mengandalkan logika ilmiah karena wilayah logika ilmiah selalu dibatasi oleh masukan dan wilayah empiris. Misalnya prinsip-prinsip moral yang selalu diperjuangkan manusia sepanjang sejarah, seperti kebebasan, harga diri, keadilan, dan perdamaian, semuanya masuk wilayah eksistensial yang ilmu pengetahuan positif tidak mampu menjelaskan.

Oleh karena itu, persona dan dunia tempat manusia menyejarah pada dasarnya sudah berada dalam wilayah keberadaan alam dan Tuhan itu sendiri. Manusia mencari dan membangun jati dirinya di dalam dan bersama keberadaan hidup itu sendiri, yang semuanya berada dalam kuasa ilahi. Jadi, keberadaan Tuhan yang menjadi sumber dan akhir hidup manusia yang selalu dicari sepanjang sejarah manusia sesungguhnya sangat dekat dan jelas, tetapi sekaligus juga merupakan misteri yang sangat sulit dijangkau.

Dalam hal ini, yang namanya kebodohan adalah situasi yang menutup kedekatan manusia dan Tuhannya. Pengetahuan akan kebenaran secara langsung dilihat sebagai kesatuan dengan Allah, sedangkan kesalahan merupakan keterpisahan dari tujuan terakhir, yaitu Allah. Memiliki kebenaran berarti memperoleh kebahagiaan, dan kesalahan adalah sumber kesusahan (halaman 1403).

Menurut Malebranche, hanya ada Allah sebelum semesta ini diciptakan, dan semua realitas ini keluar dari ide-Nya. Dengan demikian, sesungguhnya semua realitas semesta ini ada di dalam Allah. Manusia, ibarat ikan, berputar-putar mencari lautan, padahal dia sudah berada dalam lautan.

Secara pribadi saya menjadi semakin memahami mengapa sosok Driyarkara lalu diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dengan kedalaman ilmunya dan juga pandangannya yang visioner, bermunculan pemikir-pemikir tangguh di bidang filsafat, agama (Katolik), dan kebudayaan dari STF Driyarkara. Kebertuhanan, keberperikemanusiaan, dan keberindonesiaan begitu kental mewarnai buku ini, yang semuanya memiliki nuansa dan spirit kata kerja, bukan kata benda, atau rumusan kognitif-formal.

source: profkomar.wordpress, Prof Komar