Opini

PURWOREJO BERGEJOLAK DI ULANG TAHUN KE 191

Oleh : Ir Krisno Pudjonggo,MM.

Suasana panas kampung Wadas diberitakan viral melalui medsos dengan penggambaran suasana cukup represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Beberapa pegiat sosial, pejabat pusat dan beberapa anggota DPR ikut berceloteh, termasuk diantaranya oleh PBNU dan para netizen diseluruh negri.

Berita tentang gejolak masyarakat yang menentang lokasi quari tambang batu andesit yaitu bagian lokasi yang tidak terdampak langsung rencana Bendung Bener sudah tampak semenjak awal tahun 2021. Namun cara penyelesaian yang tidak tuntas telah memicu bentrok menjelang peringatan ulang tahun Purworejo yang ke 191, tanggal 27 Februari tepatnya.

Berbeda dengan peristiwa seragam karaoke beberapa waktu berselang dengan sigap Pemda menurunkan Satpol PP. Beberapa pejabat terkait termasuk Ketua DPRD ikut sibuk meredam keadaan justru di peristiwa Wadas tidak tampak peran mereka.

Tag line “Gubernur Ganjar minta maaf, Bupati Purworejo Diam Seribu Bahasa”, suara kpk.com mendapat tanggapan yang beragam cenderung memojokkan peran minimal Pemda Purworejo. Kedua beliau sesungguhnya putra-putra  terbaik berasal dari Purworejo, kebetulan  hanya beda rumah politiknya.

Purworejo meninggalkan cerita lama tentang kebesaran nama Bagelen terkait dengan Prasasti Kayu Arahiwang yang pernah dijadikan rujukan hari lahir di tahun 901 M yaitu sekitar akhir pemerintahan Mpu Sendok di Jawa Tengah.

Berganti kemudian dikaitkan dengan pengangkatan Cokronegoro sebagai Bupati Purworejo di tahun 1831. Agak tidak jelas penamaan Purworejo sebagai nama kabupaten pada hal nama tersebut semula hanyalah nama kota baru yang dibuat Belanda untuk mengendalikan rencana industri gula tebu diwilayah Bagelen?

Loncatan waktu 1640 tahun yang tadinya harus disebut  ulang tahun ke 1121 berubah menjadi 191. Agak mengherankan dan tidak pernah mendapat perhatian yang cukup dari para tokoh ataupun khayalak masyarakat Purworejo yang katanya gudangnya orang pandai.

Terlalu diam para tokoh itu seolah takut untuk berbicara sejarah Purworejo apakah penggantian hari lahir terakhir ini betul-betul punya makna atau sekedar tertulis dalam kata-kata?.

Dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi muncul tiga proyek besar yang bersinggungan dengan Purworejo yaitu wisata Borobudur di Magelang, bandara YAI di Kulon Progo dan Bendung Bener di Purworejo. Ketiganya merupakan proyek pusat dibawah PUPR bagian dari konsep PSN, stimulus penggerak ekonomi kerakyatan yang seharusnya dijadikan orientasi baru agar Purworejo berkembang.

Jika kemudian muncul gejolak-gejolak sebagaimana yang terjadi di Wadas terkesan seolah Purworejo tidak tanggap terhadap perubahan jaman.

Memang inisiatif untuk merubah tatanan di wilayah ini masih miskin ide, entah mengapa tidak tampak muncul gagasan-gagasan segar kekinian untuk menyambut perubahan melalui tiga  proyek besar tersebut. Sebagaimana tercermin dari suasana kota Purworejo dan Kutoarjo yang temaram dan tidak berkembang.

Purworejo mirip seseorang yang berdiri ketakutan terjepit diantara tiga pasang kaki raksasa. Narasi yang terbentuk sekedar rutinitas formal keseharian   bukan juga sebuah ide atau gagasan untuk dibicarakan atau mungkin sebuah kegiatan untuk merangsang minat dari generasi mudanya.

Dan dijaman serba terdidik masih sering muncul beda pendapat tanpa solusi berujung demo unjuk kekuatan diantara kelompok. Kasus Pasar Baledono, pembangunan monumen di Kedung Kebo, peristiwa karaoke dan terakhir bentrok Wadas adalah contoh-contoh masalah yang cukup menyita perhatian.

Nama Bagelen lebih dikenal dan menjadi kebanggaan dihati masyarakat disamping karena banyaknya tokoh-tokoh  nasional yang berasal daerah ini. Nama itu pernah mejadi ketakutan Belanda selama perang Diponegoro 1825 – 1830 dan sempat dilarang untuk disebut bersama dengan nama besar Pangeran Diponegoro.

 Bagi yang tidak faham mereka menyangka Purworejo kota pahlawan atau kota pejuang pada hal tak ada peristiwa heroik 1945. Yang ada adalah suasana benteng militer khas Belanda meninggalkan kesan sebagai kota kuno mirip pensiunan yang hidup tak hendak matipun tak mau.

Ketidak berdayaan membangun pertumbuhan kota Purworejo (bukan Kabupaten) dipicu oleh penguasaan tanah oleh TNI yang tampaknya menjadi faktor. Tidak salah jika ide pembangunan alun-alun ditengah kota merupakan ide segar.

Di bawah kepemimpinan Bupati Agus Bastian ide tersebut muncul bersamaan dengan pembangunan pasar Baledono. Alun-alun Purworejo adalah bidang tanah dalam kota yang tidak termasuk kekuasaan TNI. Kepemimpinan AB dua periode  adalah bagian dari sukacita masyarakat untuk memilih kembali beliau sebagai Bupati.

Gubernur Ganjar Pranowo berasal juga dari Purworejo mencoba berbuat melalui proyek Waduk Bener seharusnya mendapat dukungan yang cukup tetapi mengapa seolah beliau terpuruk dikubangan sendirian?

 Ada sesuatu yang janggal tentang fenomena yang terjadi tidak saja tentang gejolak Wadas tetapi juga sikap diantara para elitnya.

Bahwa kursi DPRD dikuasai oleh PDI Perjuangan tetapi dalam pilkada dimenangkan oleh Partai Demokrat. Ini berarti suasana kebatinan masyarakat tak sejalan dengan perwakilan rakyat yang ada di DPRD.

Tidak heran jika kemudian terjadi gejolak yang tidak perlu karena tidak termasuk kedalam kendali politik sesuai marwah dan hakekatnya. Dalam hal ini ada kemungkinan kelompok pihak ketiga yang ikut bermain diantaranya. Bukan juga oleh karena proyek Bendung Bener merupakan proyek pemerintahan pusat tetapi memang sangat kurang terasa keterlibatan masyarakat Purworejo di proyek ini telah menjadi sumber kecemburuan yang memicu gejolak sosial di Wadas.

Disekitar tahun 1975 saat dibangunnya waduk Sempor oleh Nippon Koei di Kebumen juga pembangunan Waduk Mrica di Banjarnegara sekitar 1980, lalu waduk Sermo di Kulon Progo maka Purworejo termasuk yang kurang berinisiatif untuk waduk padahal kebesaran sungai Bogowonto memungkinkan untuk itu.

Tak ada tokoh yang mampu melempar ide untuk mendorong pembangunan waduk sebagaimana Jenderal  Susilo Sudarman yang menggagas Bendung Gerak Serayu di Patikraja. Tak tampak gejolak dari proyek-proyek,  itu bahkan di Sempor atau Mrica dibuka lowongan kesempatan kerja buat masyarakat luas yang termonitor oleh Depnaker secara baik.

Agak berbeda dengan proyek Wadas kali ini.  Tampaknya BUMN yang ditunjuk berjalan tertutup mungkin akan memakai pola-pola pada sebagian besar proyek di era Jokowi dengan cara melibatkan subkon yang dibayar dengan SKBDN yang cairnya kapan-kapan.

 Sesungguhnya yang mengeluarkan modal sebetulnya subcon atau anak subcon. BUMN itu duduk nyaman dikejauhan, duit itu tetap dipegang sementara keringat darah dikeluarkan oleh para pelaksana lapangan seperti tukang dan mandor yang kehujanan dan Bank dengan tenang memotong disconto tanpa merasa salah dari segalanya. Apakah tentang Wadas demikian halnya kira-kira sama saja buktinya mereka diem seperti sidat didalam gelap.

Peristiwa Wadas jika kemudian kita kaitkan dengan Hari Jadi Purworejo yang jatuh pada tanggal 27 Februari 2022 kiranya menjadi tidak relevan.

Sebagaimana liflet atau poster  oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo tentang rentetan acara yang stagnan dan kurang inovatif. Pengulangan acara dari kegiatan tahun tahun berjalan diantara acara jumenengan dan ziarah tidak menampakkan greget kemajuan dan heroik kepahlawanan 1945,  seolah menutup keberkahan nama besar Bagelen diumur yang ke 1121.

Seharusnya suka cita itu ditunjukkan dengan melakukan pencitraan dan unjuk gigi tentang kemajuan daerah. Unjuk gagasan sesuatu yang baru itulah yang ditunggu bukan pengulangan sesuatu yang rutin bersifat kekeluargaan dengan biaya negara.

Bagi saya tak cukup alasan menempatkan nama kota Purworejo menjadi nama daerah seluas kabupaten, akan lebih mulia dan sakral jika tetap memakai nama terdahulu yaitu Bagelen. Nama Purworejo dikembalikan kepada sejarah asalnya sebagai nama kota sehingga dapat disebutkan wilayah ini sebagai “Kabupaten Bagelen dengan ibukotanya di kota Purworejo”.

Diera milenium acara pengulangan masa lalu bukan sebuah kehebatan jika tidak dibarengi dengan perubahan berbasis iptek. Atau Purworejo memang lebih memilih “disruption” sebuah sikap yang berpihak pada kemapanan tanpa memandang inovasi sebagai sebuah agen perubahan.

Agak sulit bagi generasi 50 tahun keatas untuk “tune in” dengan generasi milenium keteiga dalam hal inovasi baru mengingat keberadaan kelompok mapan yang tidak menguasai keilmuan dewasa ini.

Keadaan ini seringkali menjadi gap dalam hal kreativitas atau inovasi sehingga apa yang diharapkan tidak muncul. Melalui poster yang beredar tak tampak perubahan itu ada dan mereka lebih nyaman dalam kemapanan.

Sekilas hal ini tampak pada keadaan di Purworejo yang mendiamkan suasana kota seperti tak terawat tak berkembang dan diam. Tak tampak terobosan semisal memperbarui pengaturan tata kota dan tata ruangnya.

 Aset TNI misalnya pada dasarnya diambil dari aset VOC Belanda tidak salah jika penggunaannya dapat diatur untuk kepentingan masyarakat oleh Pemda Purworejo tidak dibiarkan sebagai kios-kios  yang tidak jelas. Membangun dan menata aset eks VOC untuk lebih bermanfaat dapat dilakukan dengan membuat terobosan yang terukur dan dapat dipertanggung jawabkan.

Tidak elok merusak pemandangan kota dengan membangun kios-kios  diatas aset TNI sementara bentuknya tak selaras dengan fungsinya. Bagaimanapun seharusnya Pemda ikut mengatur melalui penerbitan IMB misalnya atau mengarahkan dalam hal tata guna lahan, garis sempadan, penetapan KDB/KLB, penggunaan bahan dll.

Beberapa kesempatan dalam hal pengembangan kota dapat ditempuh dengan melakukan penataan kawasan dan tata ruang secara terstruktur. Detail plan disusun dengan menetapkan sentra-sentra baru dikawasan lengkap dengan perencanaan infrastrukturnya.

 Fasilitas umum dipersiapkan mengikuti konsep tata ruangnya. Keberadaan sarana umum bagi masyarakat berupa fasilitas taman atau jalur hijau, ruang terbuka/sarana OR, sarana ibadah, sekolah, pasar, terminal dll benar-benar  diletakkan sebagai titik dukungan bagi publik bukan malah dihitung sebagai proyek pemerintah untuk diperebutkan.

Peristiwa Wadas kurang memberi berkah bagi nama Kabupaten Purworejo justru di hari ulang tahun yang ke 191 bergejolak.

Purworejo juga menyandang predikat sebagai daerah tertinggal mejadi salah satu tolok ukur lain jika pemerintahan setempat belum berhasil. Ini berarti harus lebih keras bekerja jika tidak ingin tergilas oleh menggelindingnya batu andesit dari kampung Wadas.

Jakarta, 21 Februari 2022


 [h1]

About the author

pronect

Add Comment

Click here to post a comment