Oleh: Ir. Krisno Pudjonggo, MM.
Kota Wates tampak bergerak semenjak ditetapkannya Bandara YIA dibangun didaerah Kulon Progo. Kebumen mampu berinovasi menggeliatkan ekonomi kerakyatan dan merubah kotanya menjadi sentral hasil bumi dan industri. Magelang berbenah dengan mengembangkan destinasi wisata disetiap pelosok wilayah dengan unggulan kunci utamanya di Borobudur.
Purworejo baru sebatas berbenah untuk maksud kepuasan lokal dengan meningkatkan peran alun-alun kota sebagai fasilitas publik untuk rekreasi anak-anak dan dibangunnya taman patung dibeberapa tempat. Selebihnya hanya merupakan proyek-proyek rutin oleh Pemda Purworejo dan belum diikuti oleh swasta atau pihak ketiga untuk ikut membangun kotanya.
Kota kecamatan Kutoarjo dianggap sebagai destinasi kedua juga tampak sama dengan program pembangunan, sekedar menjalankan rutinitas proyek. Alun alunnya berbenah dengan menyingkirkan pedagang kaki lima disekitar untuk meningkatkan kesan wibawa, pencitraan rumah Wabup ditampak depannya.
Selain itu dampak lain tidak kelihatan walaupun ada usaha menempatkan kerumunan pedagang beras dipintu kereta arah Ketawang ke sebelah barat stasiun dan kemunculan bus Trans Jateng Borobudur.
Hal tersebut merupakan indikasi bahwa kota ini dinilai kurang prospektif untuk berusaha yang seharusnya perlu dicarikan terobosan baru bukan malah diam oleh kemapanan semu diantara para elit atau penguasanya.
Tidak tampak taktis dalam penempatan beberapa proyek stimulus pemerintah semisal dengan malah dibangunnya pasar induk di daerah sekitar Plaza sementara terminal bus seperti merana sendirian, GOR yang sepi dan justru marak bangunan-bangunan kumuh semi permanen disepanjang jalan-jalan utama didalam kota.
Ex bioskop Bagelen telah berubah menjadi gedung kesenian juga tidak jelas manfaat serta efektivitasnya padahal telah dibeli cukup mahal dengan uang rakyat. Mangkraknya stasiun kereta api milik KAI yang dimanfaatkan sebagian tanahnya untuk eks pasar jelas kurangnya inovasi dalam mengatur strategi tata kotanya.
Terhadap citra diri kota ini sepertinya ada yang kurang mengena jika dilihat dari sisi pandang terkait sejarah panjang kemerdekaan Indonesia 1945. Tak banyak pihak yang mau menengok dan menghubungkan keberadaan kota ini dengan Perang Diponegoro dan sekilas hanya mencuplik sekitar diangkatnya Bupati Cokronegoro oleh pemerintah Belanda pada tahun 1834.
Peringatan “jumenengan” masih dilakukan disetiap tahun melalui upacara yang diselenggarakan secara protokoler resmi oleh Pemda Kabupaten Purworejo kurang memberi inspirasi dan inovasi nasionalisme atau tarian dolalak dengan mempertontonkan kemolekan paha terbuka.
Berubahnya hari lahir dari tahun 901 menjadi 1834 menguatkan pandangan adanya kegamangan dari yang berwenang terhadap alur sejarah yang seharusnya heroik tetapi hanya lebih bersifat kekeluargaan memuliakan trah Cokronegoro.
Gaung nasionalisme tak pernah terdengar bahkan nama Jalan Diponegoro pun tak ada di kota ini, padahal nama itu mempunyai nilai strategis jika dikelola dengan benar.
Tak juga ada penjelasan dalam profil daerah hal-hal yang terkait dengan Perang Diponegoro padahal justru inspirasi nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia datang dari sepak terjang beliau di tlatah Bagelen. Hal ini dapat diikuti melalui paparan konten milik Salim A Fillah misalnya atau juga buku-buku Peter Carey.
Seorang Peter Carey mengulas demikian dalam sejarah dan perjuangan Pangeran Diponegoro melalui sebuah buku berjudul Takdir – Riwayat Pengeran Diponegoro (1785 – 1855), Penerbit Kompas 2017. Beliau kelahiran 1948 di Yangoon, Myanmar tetapi berkebangsaan Inggris dan telah menekuni riwayat P Diponegoro secara mendalam hingga berhasil menerbitkan buku tersebut.
Sedangkan Salim A Fillah seorang ustad dan penulis buku Islami dari Yogja juga mendalami sejarah P Diponegoro dan sering diundang untuk ceramah berceritera sekitar perang Diponegoro.
Perlu kiranya memandang keduanya dapat dipakai untuk maksud sebuah referensi bagi penjelasan atau pertimbangan atas jatidiri kota Purworejo, bagaimanapun seharusnya nama Diponegoro dikaitkan. Dan bilamana panitia hari lahir pernah menyebutkan prasasti Kayu Arahiwang sebagai acuan dasar maka tidak seharusnya dengan mudah meninggalkannya lalu tiba-tiba beralih ke tahun 1834.
Sejarah Purworejo jelas terkait dengan Diponegoro dan Cokronegoro namun juga dengan prasasti Kayu Arahiwang yang kemudian terhubungkan dengan sebuah nama yaitu Bagelen.
Nama-nama tersebut jika ditelisik melalui kedua referensi tersebut tampak beda diujung. Referensi Peter Carey akan mengarahkan pada keberhasilan Cokronegoro di Purworejo sedangkan Salim A Fillah berujung pada heroik 1945 yang menghantarkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pandangan ini menjadi penting jika ditilik dari maksud inovasi dan pemicu inspirasi kedepan untuk dapat dijadikan suri tauladan anak cucu. Bukan tidak mungkin kekeliruan dalam memilih tokoh dapat berdampak pada efek psikologi bersifat keberuntungan.
Kata sakral misalnya dapat diartikan sebagai bagian dari suasana magis tetapi juga kemuliaan, tergantung dari maksud kearah mana kata tersebut ditujukan. Dalam praktek hal tersebut diidiomkan sebagai ikon untuk menjadi lambang kemuliaan.
Membaca alur berfikir dari panitia hari jadi Purworejo tampaknya mengambil referensi Peter Carey sebagaimana terlibat dalam seminar menjelang dirubahnya hari lahir, sebagai salah satu nara sumber mengambil tema “Sisi lain sekitar P Diponegoro”, jelas ketemu diujung adalah kebesaran Cokronegoro. Itulah kemudian menjadi alasan berubahnya hari lahir dengan menyebut mulainya pemerintahan Purworejo ditahun 1834.
Peter Carey bagaimanapun beliau warga negara asing (Inggris) pasti banyak mengambil referensi dokumen dari sisi pandang Belanda sedangkan Salim A Fillah banyak mengambil berdasar sumber primer di masyarakat. Itulah hal berbeda yang seharusnya diterobos oleh Purworejo agar jati diri itu muncul diantara kebesaran bangsa sendiri.
Tak bisa disalahkan jika muncul anggapan kota Purworejo adalah kota pensiunan karena statisnya kota ini atau dianggap sebagai kota pahlawan karena banyak bangunan milik militer atau oleh keberadaan tokoh-tokoh nasional berasal dari Purworejo.
Jika ditilik dari sisi semangat dan kepentingan nasional keputusan tersebut kurang strategis disamping kurang mendidik. Diponegoro terpakai untuk menjadi nama atau ikon Kodam VII Jawa Tengah dan telah menjadi pahlawan nasional sehingga disetiap kota besar pasti ada nama Jalan Diponegoro.
Tanpa merendahkan peranan Cokronegoro dan para kerabatnya harusnya kepentingan nasional dimunculkan justru di Purworejo hal tersebut tidak terjadi.
Sosok beliau ditiru oleh Jendral Sudirman dalam perang gerilya kemerdekaan 1945, juga menjadi inspirasi gerakan Budi Utomo. Cara bersikap HOS Cokroaminoto, Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya adalah melanjutkan sikap Diponegoro, mengapa panitya hari lahir Purworejo tak mengambil jalan berfikir sejalan dengan para tokoh tersebut patut dipertanyakan.
Beberapa waktu berselang pemerintah Belanda mengembalikan sebilah keris milik P Diponegoro tentu mengandung muatan politik dan taktis tertentu tak juga mengusik sedikitpun dikalangan pejabat, legislatif dan atau masyarakat Purworejo.
Mereka lebih asyik dengan kelompok yang nantinya akan eksis disekitar pileg atau Pilkada dengan posisi terbelah diantara pendukung Cokronegoro dan Diponegoro.
Kepahlawanan beliau jelas teruji dan terbukti dengan ketakutan Belanda untuk melarang menyebut hal yang terkait dengan nama Diponegoro atau nama Bagelen, menjelaskan betapa pengaruh Diponegoro tidak bisa dikecilkan.
Tidak perlu diceritakan tentang laku pribadi beliau bertapa ketemu Nyai Roro Kidul atau melesatnya cahaya kearah beliau oleh Ki Roni Sodewo yang justru mengaburkan kepahlawanan beliau dalam melawan Belanda.
Jati diri lebih penting untuk menjadi inspirasi kemajuan masa depan kebesaran nama Diponegoro tetap harum dan abadi diantara daerah Banyumas, Bagelen, Bantul, Klaten, Pacitan, Karanganyar, Madiun, Blitar, sampai dengan daerah Pati dan daerah tapal Kuda sekitar Jember Lumajang Situbondo
Jakarta, 4 Februari 2022
Pangeran Diponegoro adalah Pahlawan Nasional yang patut dikenang dan dijadikan suri tauladan yang heroik bagi bangsa Indonesia dan warga masyarakat Purworejo
betul Bapak.
Saya sangat setuju pak… 😃👍⭐
terima kasih.