Lukisan telanjang ini adalah bernama Maryani, istri seorang seniman, dari sang pelukis sendiri. Yakni Sambodja Asmara. Terparaf oleh Sambodja: Tahun 1968.
Sambodja lahir pada tanggal 10 Juni 1931 di Kota Purworejo, Jawa Tengah. Putra bungsu dari pasangan Sukistio (Tio Kwan Yoe) dan Siti Nursiah (Sie Tien Nio) ini diberi nama Tio Kiem Hien. Sambodja telah jatuh cinta dengan seni menggambar sejak ia masih sangat muda.
Pada tahun 1937 ayahnya meninggal dan keluarganya tidak punya uang baginya untuk melanjutkan sekolahnya. Ketika dia berusia 13 tahun, temannya membantunya menemukan pekerjaan yang mengharuskannya melukis payung.

Sambodja melakoni pekerjaan sebagai pelukis payung saat usianya kurang lebih enam-tujuh tahun di sekitaran Pecinan Purworejo, atau dekat dengan tempat tinggalnya.
Dia menggunakan uang yang diperolehnya sebagai pelukis payung untuk melanjutkan sekolah sampai akhir pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1945.
Selama perang revolusi, antara class di tahun 1945 dan 1949, Sambodja sering pindah dari satu tempat ke tempat lain dan sebagai hasilnya, sekolah dan juga pekerjaannya sering terganggu.
Pada tahun 1949 Sambodja pindah dan menetap di Jakarta. Antara tahun 1951 dan 1953 ia bekerja untuk Auke Sonnega, seorang seniman Belanda, yang telah menetap di Jakarta.
Selama periode itu, Sambodja ditugaskan untuk membuat gambar dan lukisan untuk tujuan periklanan. Auke mengajarkan Sambodja seni melukis dalam minyak.
Ketika Auke Sonnega kembali ke Belanda pada tahun 1957, Sambodja terus bekerja sebagai pelukis dan ilustrator majalah.

Sejak tahun 1962 Sambodja mengambil bagian dalam berbagai pameran kelompok dan pameran tunggal. Dia menampilkan karyanya bersama dengan seniman Hindradjat di Balai Budaya pada tahun 1963.
Pada tahun 1964, ia berpartisipasi dalam pameran kelompok yang diadakan untuk menandai layanan Angkatan Udara Republik Indonesia di gedung Komite Olahraga Nasional (KONI).
Dibuka oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1965 Sambodja mengadakan pameran tunggal pertamanya di kediaman Atase militer Kedutaan Besar AS William Slade.
Pada tahun 1970, Sambodja mengadakan pameran tunggal berikutnya di Asoka Hotel (sekarang Grand Hyatt Hotel di Jalan MH Thamrin). Dia mengadakan pameran tunggal lain pada tahun 2000, di Hotel Sahid, dibuka oleh Wakil Presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Karya-karyanya banyak di nikmati para pengagum seni yang memang menyukai gaya melukisnya, karyanya tercatat pernah di lelang atau di perjualbelikan di balai lelang Sidhharta Auctioner Jakarta, Rapid Estade Liquidator Florida Amerika Serikat, Kuyper Auctioner Harleem Belanda dan banyak balai lelang lainnya.
Sambodja Asmara melengkapi deretan para seniman republik terbaik, khususnya Indo-Tionghwa yang pernah dimiliki oleh negeri ini. Selain Sambodja atau Tio Kim Hin, Otto Swastika (Siauw Tik Kwie), Chris Suharso ( Siauw Swie Tjhing) dari Surakarta, Anton Kustiawijaya ( Huang Wei Hsing) dari Kota Bandung, Siauw Tjhang dari Cirebon dan lainnya.
Karya-karya itu bangkit lagi dari persembunyian, seakan-akan mampu berbicara dan membisikkan obat luka kepada empunya karya. Ini lho sebagai penawar, bahwa republik ini pernah mengalami masa kelam, para seniman yang tak tahu apa-apa, paska periode 65 terpaksa harus melarikan diri, seperti pelukis Istana Istana Lee Man Fong yang pindah ke Singapura, Wen Pe Or ke Hongkong, dan secara keseluruhan Yin Hua sudah usai riwayatnya. ( ilhan erda)
source: Sidhharta Auctioner, invaluable.