Oleh: Denna Fascia
Selain sampulnya yang berwarna hitam, warna kebangsaan arsitek tak tampak secuil pun arsitektur di buku sketsa milik arsitek ternama itu.
Tak ada gambar-gambar bangunan yang lazim digambar arsitek. Tak ada juga gambar-gambar proyeksi apalagi detail-detail konstruksi.
Apa yang justru tertera di atas lembaran-lembarannya adalah sketsa-sketsa daun kering yang membuat saya bertanya-tanya apakah penggambarnya sedang “kering” kerjaan.
Eko Prawoto, pemiliknya, menyebutnya sebagai meditasi. Dengan ditemani buku itu, arsitek yang tinggal di Yogyakarta ini kerap berjalan-jalan di taman dan mengamati daun-daun yang bertebaran.
Tatkala ia menemukan daun kering yang memikat hatinya, ia pun memungutnya, mengamatinya, dan kemudian menggambarnya.
“Lewat sketsa-sketsa itu, saya belajar untuk ‘mewawancarai’ helai daun itu,” ujar Eko seakan daun adalah teman bicaranya.
Sketsa-sketsa itu baginya adalah semacam tamasya menelusuri perjalanan panjang setiap helai daun.
Dimulai dari strukturnya yang benar dan indah dengan sistem pembagian kerja yang sempurna, berlanjut hingga proses-proses setelahnya, dari perubahan warna, pembusukan, hingga pengoyakan oleh alam.
Eko mulai menekuni kegiatan tersebut saat menunggui pengerjaan karya instalasinya di Singapore Biennale, Oktober tahun 2013.
Untuk merekam “percakapannya” ia memilih menggunakan bolpoin yang lebih bisa dikendalikan ketebalan garisnya di atas kertas ketimbang drawing pen.Dengan begitu, saat merekam tekstur daun yang halus dan detail, ia bisa menumpuk garis-garis halus tanpa membuat tintanya membaur.
Ia pun menggunakan kertas yang agak tebal untuk bidang gambarnya supaya tidak cepat koyak ketika menerima goresan yang berulang-ulang.
Seperti halnya menikmati alam, kegiatan meditasi daun ini bagi Eko terasa menenangkan. “Ini merupakan kesempatan untuk menepi sejenak dan menikmati diri sendiri berdialog dengan alam,” tandasnya.
Tak mengherankan, sepulangnya dari Singapura, rutinitas itu terus berlanjut sampai sekarang, dan sudah membuahkan lebih dari empat puluh sketsa.
source: Denna Fascia, Ir Eko Prawoto. konteks.org
Add Comment