Oleh: Dibyo Sumantri Priambodo
Ada seorang lelaki muda yang tampaknya sederhana, tetapi memiliki kemauan kuat untuk mengumpulkan remah-remah kisah di masa lalu. Lelaki muda itu mencoba menguntai serpihan waktu, merajut berbagai pengalaman sahabat dan mengeksposenya.
Ketika lelaki muda itu meminta saya untuk memeras ingatan yang sudah rapuh termakan usia, tentang proses lahirnya “Sanggar Warusoe”, saya tak kuasa untuk menolaknya. Semua pengalaman di masa lalu, semata untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi generasi muda di saat ini.
Tak salah lelaki muda itu meminta saya menceritakan bagaimana saya menggerakkan semangat dan kecintaan anak-anak muda ketika itu pada seni dan budaya. Sehingga lahir sebuah wahana kegiatan berkesenian di kota Purworejo. Puluhan tahun silam.
Wahana itu bernama “Sanggar Warusoe”, singkatan dari nama pencetus lagu kebangsaan Indonesia Raya yang asal Purworejo, Wage Rudolf Soepratman.
****
Purworejo ketika itu adalah kota kecil yang senyap. Nyaris tidak tampak kegiatan bagi generasi muda. Atau mungkin ada kegiatan tetapi tidak terekspose media masa, lantaran di negeri ini baru ada RRI dan TVRI selain beberapa stasiun radio amatir.
Ketika itulah, saat ada waktu longgar saya mengajak seorang sahabat muda yang punya banyak gagasan, memperbincangkan perlunya menggugah “instink” berkesenian generasi muda “Tlatah Bagelen” agar meningkat kepercayaan dirinya, dan berani tampil penuh pesona.
Sungguh tidak mudah. Mengajak generasi muda ketika itu “bertiwikrama” agar berani tampil di panggung yang lebih luas. Sebagian warga kota Purworejo sudah berusia senja, sehingga dikenal sebagai “Kota Pensiunan”.
Mengapa demikian? Lantaran belum adanya industrialisasi, maka anak-anak muda lebih banyak yang merantau keluar kota. Mungkin melanjutkan pendidikan, ataupun bekerja.
***
Lantas terbersitlah gagasan perlunya gebrakan baru, menciptakan “drama kehidupan” yang spektakuler, di atas “panggung kenyataan” dengan hentakan musik yang membahana, serta berbagai atraksi yang tidak mudah terlupakan oleh sesiapa saja.
Sebuah mimpi indah, agar anak-anak muda itu terkesima, lantas mereka tertarik dan terpacu mewujudkan cita-cita menghidupkan budaya kota tercinta. Kendati saat itu di Purworejo belum ada “sponsorship” bermakna untuk perspektif budaya.
Hanya dengan tekad mewujudkan cita-cita luhur anak negeri, dibuatlah proposal sederhana, lantas jalan kaki menyusuri toko-toko meminta sumbangan ala kadarnya demi kemajuan kota tercinta.
Selain mengumpulkan dana, kami juga ajak para kawula muda yang punya kreativitas luar biasa, baik dibidang seni rupa, kriya, tarian, modeling maupun seni drama mendiskusikan tema-tema apa saja yang patut dipentaskan secara periodik.
***
Sesungguhnya ada “invisible hand” dibalik itu semua. Barangkali mimpi indah itu tak akan terwujud, tanpa adanya perhatian, bimbingan dan bantuan sepenuhnya dari Bapak Bupati Kepala Daerah beserta ibu ketika itu, sehingga Muspida pun turut berperan serta mewujudkan mimpi-mimpi anak muda.
Bukan hanya berkenan menyediakan Pendopo Kabupaten Purworejo untuk ajang pentas anak-anak muda, tetapi beliau juga dibantu ke enam putra-putrinya yang cantik jelita dan gagah perkasa berbagi tugas, menyukseskan berbagai acara pentas, sampai kabar beritanya membuhul di seantero kota.
Sejatinya tak cuma menyelusup ke relung desa, lantas menari-nari di hati anak muda, tetapi ternyata sampai juga membahana ke telinga pengampu wilayah berbagai kota. Tak lain karena diliput TVRI Jogja, Koran Suara Merdeka, Semarang serta Kedaulatan Rakyat Jogja.
Akhir kisah inipun sesungguhnya bisa diterka. Animo anak-anak muda ketika itu membuncah, dimotori putra-putri pejabat daerah yang penuh semangat serta aktif berlatih, lantas dipentaskan secara periodik. Masyarakat dan para orang tua juga berbunga-bunga hatinya
Berbagai tarian daerah rutin latihan dengan menghadirkan guru dari Kutoarjo, begitu juga seni lukis, serta latihan band juga rajin dilakukan di akhir pekan dengan peralatan pinjaman seorang purnawirawan.
“Modeshow” atau “fashionshow” acap kali dipentaskan dengan disain busana “draperi” menggunakan kain batik merk terkenal dari Solo yang dibawakan para peragawati jelita berusia remaja, serta beberapa model dari Jogja.
“Draperi” adalah kain batik yg dililitkan langsung dengan aneka desain ke tubuh peragawati, tanpa jahitan tetapi menggunakan peniti.
****
Kegiatan berkesenian di “Sanggar Warusoe” yang saat itu belum lazim, ternyata membawa pengaruh besar terhadap kepercayaan diri para anggotanya.
Anak-anak muda dan remaja di sebuah kota kecil yang sunyi, awalnya tidak mengerti harus berbuat apa, tetapi akhirnya mampu menghasilkan karya, bahkan mungkin sebuah “mahakarya”
Nyaris empat puluh tahun kemudian, anak-anak muda yang dulunya pernah terlibat berkesenian di “Sanggar Warusoe”, kini telah menyebar ke seantero kota atau bahkan sukses berkarya di berbagai mancanegara.
Dan kisah ini ditulis dengan memeras ingatan cukup lama, lantaran terbatasnya dokumentasi berupa foto ataupun literasi, karena saat itu belum model “selfie”. Dan bukan semata lantaran waktu telah berselang demikian lama, melainkan karena penulisnya sudah berangkat tua.
Kendatipun begitu, ada sepercik harap, agar generasi muda di Purworejo terinspirasi dan termotivasi untuk memacu diri, punya martabat dan harga diri untuk berprestasi. Tak cuma dedikasi untuk kota Purworejo tercinta, tetapi juga untuk sebuah negeri…
Lantas siapakah lelaki muda yang memaksa saya menuangkan seberkas pengalaman?
Lelaki muda itu tidak lain adalah Ilhan Erda-Sidiq. Semoga tetap sukses dan berjaya untuk kota kelahiran tercinta….
Ndalem Ganendran, di malam panjang 2019
Add Comment