Oleh : Ir Krisno Pudjonggo, M.M.
Kota Purworejo bermula direncanakan untuk menjadi pusat pengelolaan industri gula didaerah Bagelen meliputi hamparan yang berbatas kali Progo disisi timur dan sungai Serayu yang memanjang dari hulu di Gunung Sindoro hingga ke hilir di daerah Banyumas.
Purworejo juga merupakan titik pertahanan strategi Benteng Stelsel untuk memojokkan pasukan Diponegoro yang berbasis disepanjang sisi timur Bogowonto di perbukitan Menoreh.
Filosofi dasar perencanaan kota ini bukan untuk pengembangan ekonomi tetapi lebih terstruktur untuk sebuah kegiatan birokrasi pemerintahan ala VOC Belanda. Maka unsur keamanan menjadi dominan dengan dibangunnya tangsi militer cukup lengkap dan besar terdiri atas barak dan hunian untuk pejabat militer.
Kemudian dipikirkan terhadap kelengkapan fasilitas kota berupa pasar, gereja, masjid, sekolah dll.
Kota ini juga diperankan sebagai pusat pemerintahan kabupaten baru bernama Purworejo dari sebuah daerah yang dulu dikenal dengan nama Bagelen, mengambil bagian bidang tanah daerah Brengkelan dan Kedung Kebo.
Kota tampak tertata dengan dominasi suasana kemiliteran sehingga bagi yang tak paham menyebutkan Purworejo sebagai kota pejuang yang terinspirasi banyaknya tokoh-tokoh orang penting kelahiran Purworejo.
Sejarah kota Purworejo berbelok dengan menetapkan sejarah berdirinya dikaitkan dengan prasasti kayu Arahiwang ditahun 901. Melalui kajian baru tim hari jadi merubah hari lahir tersebut atas dasar dimulainya pemerintahan bupati Cokronegoro I pada tgl 27 Pebruari 1831 dan tidak lagi menggunakan tgl 5 Oktober 901.
Istilah berbelok adalah tidak relevannya pembicaraan nama kota menjadi nama kabupaten dimana dalam sejarah yang benar bagaimanapun terkait dengan perang Diponegoro 1825 – 1830.
Perang besar Diponegoro tidak pernah diperankan oleh Purworejo sebagai ikon atau identitas yang patut dimuliakan sebagai penanda keterkaitan dengan heroik kemerdekaan 1945 yang inspirasi Nasionalisme Indonesia dan Kemerdekaan NKRI.
Diponegoro bersama nama besar Bagelen justru dikecilkan karena dianggap sebagai antitesis dari kebesaran Cokronegoro. Sikap ini yang menurut kaidah umum melawan arus kepatutan dan tidak pernah diperhitungkan oleh tim hari lahir Purworejo.
Acara jumenengan tiap tahun bahkan penamaan jalan didepan rumah dinas bupati semakin menempatkan nama Cokronegoro lebih unggul dari Diponegoro menjadi makna sejarah berbelok justru oleh karena penempatan yang tidak taktis?
Bahkan nama besar WR Supratman yang diingat orang setiap mengumandangkan lagu Indonesia Raya tak cukup bergaung. Patung beliau di perempatan Pantok sekedar peringatan ala kadarnya dengan posisi dan sikap yang tak mencerminkan heroik pemuda dijamannya.
Bahkan wajahnyapun tak mirip sebagaimana yang dikenal melalui buku-buku pelajaran atau uang kertas yang pernah beredar.
Patung itu akan tumbang berserakan seandainya tertabrak truk dari arah manapun.
Penamaan Kodam IV Diponegoro Jawa Tengah atau pendirian patung Diponegoro di Monas dan di alun-alun Kota Magelang atau di lain tempat manapun merupakan contoh ikon strategis dan taktis.
Beliau tak pernah berperang sampai dengan Kota Magelang paling jauh hanya sampai desa Menoreh di Salaman. Tetapi Magelang lebih berfikir taktis dari pada sejarahnya sehingga dibuat patung sedemikian besar dan gagah.
Bahkan terakhir ini dikembalikannya keris pusaka Diponegoro dari pemerintah Belanda adalah bukti pengaruh dan kebesaran nama beliau tak juga menghentak kesadaran itu di Purworejo.
Tak banyak ada perubahan sikap dimasyarakat terhadap gerak maju daerah tercermin dari tak terjadinya perubahan besar dikota ini.
Kota tampak kusam dan monoton tanpa banyak perubahan yang berarti sementara kedudukan kota militer tidak menampakkan dampak ekonomi seperti di Magelang.
Kota ini justru dipenuhi warung dan kios-kios pada tempat dan lokasi yang dikelola oleh militer merupakan usaha sampingan yang tak memberi kontribusi keindahan kota.
Semenjak kemerdekaan 1945 seluruh aset ex VOC ataupun swasta barat di Indonesia diatur melalui UU Agraria Th 60 dengan penekanan untuk digunakan kepentingan rakyat.
Hal ini tidak tampak di Purworejo terlihat dengan minimnya ex aset VOC di Purworejo yang dikuasai oleh Pemda.
Aset tersebut terbatas hanya Rumah Dinas Bupati, alun-alun besar, Rumah Sakit dan Kantor disisi selatan alun-alun.
Selebihnya dibawah pengelolaan militer terdiri atas lokasi tanah bangunan militer dan tanah-tanah kosong hampir sebagian besar didalam kota. Bahkan tanah disekeliling rumah dinas Bupatipun tak bisa dikelola oleh Pemda.
Inilah yang dimaksud dengan struktur kota yang menghambat.Tak ada yang peduli dan bersikap tentang itu sehingga pembangunan belakangan ini lebih berkonsentrasi pada pembenahan taman pada pojok-pojok kota ditanah bagian dari jalan itupun dengan ikon-ikon yang kurang taktis.
Menjadi pertanyaan jika Pemda harus membeli hotel ex para Pejuang 45 dan ex Bioskop Bagelen pada hal banyak aset ex VOC oleh militer dulu tak beli sepeserpun.
Purworejo miskin ide walaupun banyak warga masyarakatnya terdidik dan pintar bahkan berkedudukan strategis di pemerintahan pusat.
Tak terlihat geliat gerak maju daerah yang tercermin dari perubahan kota diera milenium yang serba cepat.
Terkadang ada kelompok yang ingin menampakkan jati diri melalui even-even kekinian oleh generasi mudanya tetapi kota ini tetap kedodoran.
Disektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perdagangan kalah dengan daerah lain disekitar misalnya Kulon Progo, Kebumen, Magelang dan Wonosobo.
Mereka jauh lebih tampak semarak dengan membuat terobosan-terobosan baru berorientasi ekonomi.
Struktur tata kota ini lebih menggambarkan suasana “birokrasi feodal” tampak dengan keputusan DPRD membuat acara jumenengan sebagai acara rutin tahunan yang mempertegas enggannya masyarakat untuk melepas suasana jaman itu untuk bergerak bebas dan maju.
Mereka merasa nyaman dan tentram menjalankan kehidupan secara monoton dan rutin sehingga kota ini layak diperankan sebagai kota pensiunan.
Purworejo telah mengalami “disruption” sebuah keadaan yang terlihat kokoh tiba-tiba tumbang oleh kaki yang tergorok tanpa sadar.
Bupati Marsaid lebih dinamis dengan mencari masukan dari kelompok masyarakat diluar birokrasi sebagai mana yang pernah ditulis melalui majalah Kiprah yaitu merealisasikan jembatan Sembir untuk mendorong titik pertumbuhan Purwodadi.
Gubernur Ganjar adalah asli Purworejo tersentak kaget dalam sambutan “Panen Singkong Pakuwojo” tentang pertanyaan belum maksimalnya peran Bogowonto bagi kehidupan, bersyukur jika Bendung Bener terjadi terkait hal itu.
Membaca pertumbuhan sebuah kemajuan daerah tak bisa meninggalkan Master Plan yang menjadi rujukan maka banyak hal yang perlu dievaluasi terutama pada hal-hal dasar terkait politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Daerah rencana pertumbuhan disekitar Sucen tampak merana walaupun telah dibangun akses jalan lingkar kearah Magelang.
Didalam kota tidak tampak berubah terkecuali suasana landskape di alun-alun besar. Pembangunan kantor-kantor dinas pemerintah tampak disekitar Kledung tetapi juga ada menyebar didalam kota bahkan ada mengelompok sekitar lampu merah Keseneng jalan lingkar arah Magelang.
Seandainya rencana pembangunan kantor baru dikaitkan dengan strategi pengembangan kota tak seharusnya terminal dan stadion berdiri merana.
Dan Pasar Baledono yang megah tapi muncul pula Pasar Singodranan dan maraknya perdagangan dipasar Kongsi dan ex bioskop Pusaka tak pelak berdampak pada konsep kedudukan pasar Baledono.
Berdampak pada akhirnya pada gerak perekonomian kota dan tidak hidupnya jalur transportasi angkot dikota ini.
Dengan telah dimulainya rencana jalan tol Bawen – Borobudur dan Solo – Kulon Progo dan berlanjut tak menjadikan Purworejo menjadi strategis, demikian pula jika tol Jogja – Cilacap dilaksanakan.
Halnya adalah Purworejo akan terdampak dengan tidak lagi terlewatinya lalu lintas utama. Semua akan melalui tol menuju Jogja tanpa menginjak daratan Purworejo.
Ini berarti semua lalu lintas dari arah Magelang, Banyumas, Wonosobo, Temanggung ataupun dari yang lain menggunakan tol.
Tol tidak menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi di Purworejo tetapi menjadi ancaman stimulus lokal maka diperlukan sebuah pemikiran mendalam untuk menanggulangi hal tersebut.
Sebuah pengalaman dari keputusan lama yang menganggap titik persinggungan Congot adalah strategis sehingga Pemda berinisiatip membuat semacan rest area dilokasi perbatasan Purworejo – Wates.
Konsep itu dikaitkan dengan turunnya anggaran jalan lintas selatan – selatan yang menghubungkan Jogja – Banyumas lebih lancar.
Dampaknya adalah mereka merasa tidak perlu melalui Kutoarjo dan Purworejo, mereka cukup lewat dan Jogja relatif sudah dekat. Rest Area tersebut gagal dan merana hingga sekarang.
Rencana tol Jogja – Cilacap perlu disikapi seperti yang sudah dilakukan Kulon Progo dan Kebumen yang meminta simpang susun ada didaerahnya, entah apa kebijakan di Purworejo.
Ada kelompok diaspora Purworejo, Pakuwojo, CPP, PWB dan banyak kelompok lain yang bersemangat jiwa kedaerahan, berbicara tentang keinginan terpendam agar birokrasi di Purworejo mau membuka diri dan jangan lagi berdikotomi sekitar Cokro dan Dipo.
Jaman sedang bergerak maju tidak menuju ke masa lalu yang tak relevan. Bahkan stasiun usang di kota itu sebetulnya cukup taktis jika diusulkan untuk menjadi salah satu titik stimulus perekonomian Purworejo baru untuk diteruskan kearah Borobudur?
Salah satu kompensasi dampak tol yang bakal memarjinalkan kota ini diera digital serba cepat dengan memunculkan ide perubahan “Kabupaten Bagelen dengan ibukotanya di Purworejo”?
Add Comment